BAB 1 - 3

  

الدَّرْسُ الأَوَّلُ

فِي مَبَادِئِ عِلْمِ التَّوْحِيدِ

مَبَادِئُ عِلْمِ التَّوْحِيدِ كَبَقِيَّةِ الفُنُونِ عَشَرَةٌ، وَهِيَ: حَدُّهُ، وَمَوْضُوعُهُ، وَثَمَرَتُهُ، وَفَضْلُهُ، وَنِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ العُلُومِ، وَوَاضِعُهُ، وَاسْمُهُ، وَاسْتِمْدَادُهُ، وَحُكْمُ الشَّارِعِ فِي تَعَلُّمِهِ، وَمَسَائِلُهُ.

وَنَظَمْتُهَا فِي بَيْتَيْنِ لِيَسْهُلَ حِفْظُهَا، وَهُمَا:

حَدٌّ وَمَوْضُوعٌ وَثَمَرَةٌ مَعَا                         فَضْلٌ وَنِسْبَةٌ وَمَنْ قَدْ وَضَعَا

وَاسْمٌ وَمَأْخَذٌ وَحُكْمُ شَرْعِنَا                     مَسَائِلُ هَذِهِ مَبَادِي فَنَّا

مَسَائِلُ هَذِهِ مَبَادِي فَنَّا

قَوْلُهُ :)مَبَادِئُ عِلْمِ التَّوْحِيدِ كَبَقِيَّةِ الفُنُونِ عَشَرَةٌ ( مَبَادِئُ عِلْمِ التَّوْحِيدِ كَمَا هِيَ مَذْكُورَةٌ فِي الأَبْيَاتِ

إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشَرَةٌ                        الحَدُّ وَالمَوْضُوعُ ثُمَّ الثَّمَرَة

وَفَضْلُهُ، وَنِسْبَةٌ وَفَنُّ الوَاضِعِ                وَالاِسْمُ، الأَسْتِمْدَادُ، حُكْمُ الشَّارِعِ

مَسَائِلٌ، وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى           وَمَنْ دَرَى الجَمِيعَ حَازَ الشَّرَفَا

وَهَذِهِ عَشَرَةُ مَبَادِئَ لِكُلِّ فَنٍّ، فَلَا تَخْتَصُّ بِفَنٍّ دُونَ فَنٍّ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَعِلْمِ الحَدِيثِ وَعِلْمِ الفِقْهِ وَهَكَذَا وَالآنَ سَيَشْرَعُ فِي عِلْمِ التَّوْحِيدِ، وَتُوجَدُ فِيهِ هَذِهِ المَبَادِئُ العَشَرَةُ كَمَا سَيَذْكُرُهَا

وَلَكِنْ هُنَا أَتَى بِأَبْيَاتٍ أُخْرَى وَهِيَ أَخْصَرُ، فَالأَبْيَاتُ الأُولَى ثَلَاثَةٌ، أَمَّا هُنَا فَبَيْتَانِ فَقَطْ

وَمَعْنَى )مَنْ قَدْ وَضَعَا( أَيْ: وَاضِعُهُ، وَمَعْنَى )مَأْخَذٌ (أَيْ: اِسْتِنْبَاطُهُ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Pelajaran Pertama: Dasar-dasar Ilmu Tauhid

Dasar-dasar ilmu tauhid, seperti halnya cabang-cabang ilmu lainnya, terdiri dari sepuluh prinsip, yaitu: definisi, topik, buah (hasil), keutamaan, hubungan ilmu ini dengan ilmu lainnya, pencetusnya, namanya, sumber pengambilannya, hukum syariat tentang mempelajarinya, serta permasalahannya. Semua prinsip ini disusun dalam dua bait agar mudah dihafal, yaitu:

"Definisi, topik, dan buahnya bersama-sama,

Keutamaan, hubungan, dan siapa pencetusnya,

Nama, sumber, dan hukum syariat kita,

Inilah permasalahan dasar-dasar ilmu kita."

Penjelasan: Dasar-dasar ilmu tauhid seperti yang disebutkan dalam bait-bait ini:

"Bahwa dasar-dasar setiap cabang ilmu itu ada sepuluh: definisi, topik, buah (hasil), keutamaan, hubungan, pencetus, nama, sumber, hukum syariat, dan permasalahannya. Sebagian orang mencukupkan dengan sebagian lainnya, dan barangsiapa mengetahui semuanya, maka ia telah memperoleh kehormatan."

Ini adalah sepuluh dasar dari setiap cabang ilmu, tidak terbatas pada satu cabang ilmu saja seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, dan seterusnya. Sekarang akan dimulai pembahasan ilmu tauhid yang juga memiliki sepuluh dasar tersebut sebagaimana yang akan dijelaskan. Namun di sini, disajikan bait-bait yang lebih singkat; bait pertama terdiri dari tiga baris, sedangkan bait kedua hanya dua baris. Makna dari (من قد وضعا) adalah pencetusnya, dan makna (مأخذ) adalah sumber pengambilannya.

 

 

 

 

 

 

حَدٌّ: عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيهِ عَنْ إِثْبَاتِ المَعَاقِدِ الدِّينِيَّةِ الصَّحِيحَةِ بِأَدِلَّتِهَا اليَقِينِيَّةِ القَطْعِيَّةِ سَوَاءٌ كَانَتْ عَقْلِيَّةً أَمْ نَقْلِيَّةً

قَوْلُهُ ) :حَدٌّ عِلْمُ الحَدِّ في اللُّغَةِ (أَيِ المَنْعُ، وَمِنْهُ حُدُودُ الدَّارِ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنْ خُرُوجِهَا مَنْ يَدْخُلُ، وَكَذَلِكَ حُدُودُ الشَّرْعِ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ المَحْدُودَ أَنْ يَعُودَ إِلَى جُرْمِهِ، لِأَنَّ السَّارِقَ إِذَا سَرَقَ وَقُطِعَتْ يَدُهُ مَنَعَهُ ذَلِكَ مِنْ أَنْ يَعُودَ إِلَى جُرْمِهِ بِإِقَامَةِ الحَدِّ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْمِلُهُ عَلَى التَّرَدُّدِ وَيُشْعِرُهُ هَذَا الحُدُودُ زَجْرًا لَهُ مِنَ ارْتِكَابِ مَا يُوجِبُهَا

وَأَمَّا الحَدُّ في الاِصْطِلَاحِ: فَهُوَ مَا يَمْتَنِعُ بِهِ المَخْصُوصُ دُونَ غَيْرِهِ، فَالْإِنسَانُ حَيَوَانٌ نَاطِقٌ فَهَذَا جَامِعٌ مَانِعٌ،أَمَّا الحَدُّ الأَعَمُّ: فَهُوَ جَامِعُ أَفْرَادِ المَحْدُودِ لَكِنَّهُ غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ دُخُولِ غَيْرِهِ، فَهُوَ فَاسِدٌ إِذَا أَرَدْتَ تَعْرِيفَ الإِنسَانِ

أَنْ الإِنسَانَ حَيَوَانٌ فَقَطُ فَهَذَا تَعْرِيفٌ نَاقِصٌ صَحِيحٌ لِلإِنسَانِ كَعَامٍ لاَ يَمْنَعُ دُخُولَ غَيْرِهِ فِيهِ كَيْفِيَّةِ الحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا تَدْخُلُ فِيهِ، جَامِعٌ مَانِعٌ غَيْرَ مَانِعٍ

يَدْخُلُ فِيهِ بَنُو آدَمَ وَغَيْرُهُمْ، وَكَذَلِكَ الحَدُّ الأَخَصُّ، وَهُوَ بِالعَكْسِ لاَ يَمْنَعُ مِنْ دُخُولِ غَيْرِهِ غَيْرَ مَانِعٍ أَيْ: لاَ يَجْمَعُ أَفْرَادَ المَحْدُودِ، فَهُوَ فَاسِدٌ بِالعَكْسِ كَمَا إِذَا قُلْنَا في تَعْرِيفِ الإِنسَانِ: الإِنسَانُ رَجُلٌ فَهَذَا مَانِعٌ مِنْ دُخُولِ غَيْرِهِ مِنَ الحَيَوَانَاتِ فِيهِ، لَكِنَّهُ غَيْرَ عَامٍّ أَيْ: لاَ يَجْمَعُ أَفْرَادَ المَحْدُودِ لأَنَّهُ يُخْرِجُ بِهِ النِّسَاءَ وَالأَطْفَالَ

فَالحَدُّ الأَعَمُّ جَامِعٌ غَيْرُ مَانِعٍ، وَالحَدُّ الأَخَصُّ مَانِعٌ غَيْرَ جَامِعٍ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Had adalah Ilmu yang membahas tentang penetapan keyakinan agama yang benar dengan dalil-dalilnya yang meyakinkan dan pasti, baik yang bersifat akal maupun yang bersifat naql (dari Al-Qur’an dan Hadis).

Ucapannya: (Definisi "had" secara bahasa)... yaitu bermakna pencegahan, dan di antaranya adalah batasan rumah, karena batasan itu mencegah seseorang yang berada di dalamnya untuk keluar, dan demikian pula batasan syariat dinamakan demikian karena mencegah pelanggar untuk kembali kepada kesalahannya. Sebab pencuri, jika dia mencuri dan tangannya dipotong, maka hal itu akan mencegahnya untuk kembali kepada kejahatannya dengan ditegakkannya hukum had (hukuman fisik). Hal ini membuatnya ragu untuk mengulangi perbuatannya dan memberinya pelajaran untuk tidak melakukan kejahatan yang menyebabkan penegakan had tersebut.

Adapun "had" dalam istilah adalah sesuatu yang mencegah hal tertentu tanpa melibatkan yang lain. Misalnya, manusia adalah hewan yang berbicara, ini adalah definisi yang mencakup dan mencegah, sedangkan definisi yang lebih umum adalah definisi yang mencakup semua individu dalam batas tersebut, tetapi tidak mencegah selain mereka, sehingga definisi ini tidak tepat jika ingin mendefinisikan manusia.

Manusia hanya disebut hewan saja, maka definisi ini adalah definisi yang benar namun tidak sempurna karena tidak mencegah masuknya kategori lain seperti hewan-hewan lain. Maka, definisi ini mencakup tetapi tidak mencegah, yakni mencakup manusia, anak-anak Adam, dan lainnya. Demikian pula definisi yang lebih khusus, yang merupakan kebalikannya, tidak mencegah masuknya kategori lain selainnya. Artinya: tidak mencakup semua individu yang dibatasi, maka definisi ini keliru seperti ketika kita berkata dalam mendefinisikan manusia: "manusia adalah seorang laki-laki," maka definisi ini mencegah masuknya kategori lain dari binatang, namun tidak mencakup semua individu manusia karena mengeluarkan perempuan dan anak-anak dari definisi tersebut.

Oleh karena itu, definisi yang lebih umum mencakup tetapi tidak mencegah, sedangkan definisi yang lebih khusus mencegah tetapi tidak mencakup.

 

قَوْلُهُ يُبْحَثُ فِيهِ عَنْ إِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّينِيَّةِ الصَّحِيحَةِ بِأَدِلَّتِهَا الْيَقِينِيَّةِ الْقَطْعِيَّةِ الْخ

أُمُورُ الْعَقَائِدِ لَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ الْأَدِلَّةُ فِيهَا قَطْعِيَّةً، وَالْأَدِلَّةُ الْقَطْعِيَّةُ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنَ الْكِتَابِ وَمِنَ الْحَدِيثِ الْمُتَوَاتِرِ وَالْإِجْمَاعِ، بِخِلَافِ فُرُوعِ الشَّرِيعَةِ مِنَ الْفِقْهِ وَنَحْوِهِ.. فَهَذَا يُقْبَلُ فِيهَا الْأَدِلَّةُ الظَّنِّيَّةُ، بَلْ إِنَّ أَكْثَرَ أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ ظَنِّيَّةٌ؛ لِأَنَّهَا مِنْ أَحَادِيثِ الْآحَادِ وَالْأَحَادِيثِ الْمُتَوَاتِرَةِ فِيهَا قَلِيلٌ بِالنِّسْبَةِ لِأَحَادِيثِ الْآحَادِ، وَالْحَدِيثُ الْمُتَوَاتِرُ.. يُفِيدُ الْقَطْعَ، أَيْ: الْيَقِينِ. أَمَّا حَدِيثُ الْآحَادِ فَإِنَّهُ يُفِيدُ الظَّنَّ فَقَطْ سَوَاءٌ غَرِيبٌ أَوْ عَزِيزٌ وَالْمُسْتَفِيضُ كُلُّهَا دَاخِلَةٌ فِي الْآحَادِ وَلَكِنْ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ إِذَا كَانَ صَحِيحًا أَوْ حَسَنًا، وَلَا يَكْفِي فِي الْمُعْتَقَدِ، بِخِلَافِ مَا يُفِيدُ الْقَطْعَ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ الْمُتَوَاتِرِ، فَنُكَفِّرُ مُنْكِرَهُ. فَأُمُورُ الْعَقَائِدِ لَا تُثْبَتُ إِلَّا بِدَلِيلٍ قَطْعِيٍّ سَوَاءٌ كَانَتِ الْأَدِلَّةُ نَقْلِيَّةً أَمْ عَقْلِيَّةً

قَوْلُهُ: مَوْضُوعُهُ: ذَاتُ اللهِ وَذَاتُ رُسُلِهِ الْخ

هَذَا مَوْضُوعُهُ فِعْلًا، عِلْمُ التَّوْحِيدِ لَيْسَ مَعْنِيَّ قَوْمِهِمْ؛ أَوَّلُ مَا يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللهِ أَيْ مَعْرِفَةُ حَقِيقَتِهِ تَعَالَى إِذْ لَا يُعْرَفُ اللهُ.. إِلَّا اللهُ، وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ مَعْرِفَةُ صِفَاتِهِ تَعَالَى وَمَا يَجِبُ لَهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَمَا يَسْتَحِيلُ عَلَيْهِ وَمَا يَجُوزُ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَهَذَا هُوَ الْمُرَادُ بِمَوْضُوعِهِ

أَمَّا حَقِيقَتُهُ تَعَالَى فَلَا يُدْرِكُهَا أَحَدٌ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ﴾ [الْأَنْعَام: 103] أَيْ لَا تُحِيطُ بِهِ،وَلَيْسَ مَعْنَاهُ لَا يُرَى، لِأَنَّ الْمُؤْمِنِينَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَآيَةُ ﴿لَا تُدْرِكُهُ﴾ نَفَتِ الْإِحَاطَةَ

فَلَمْ يَقُلْ لَا تَرَاهُ الْأَبْصَارُ إِنَّمَا ﴿لَا تُدْرِكُهُ﴾ وَهُوَ الرُّؤْيَةُ مَعَ الْإِحَاطَةِ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Ucapannya: (dalam hal ini dibahas tentang pembuktian akidah-akidah agama yang benar dengan dalil-dalil yang pasti, ...). Urusan akidah haruslah dalil-dalilnya bersifat pasti, dan dalil-dalil yang pasti hanya bisa berasal dari kitab, hadis mutawatir, dan ijma', berbeda dengan cabang-cabang syariat seperti fikih dan sejenisnya. Maka dalam hal ini diterima dalil-dalil yang bersifat dugaan (zhanni), bahkan kebanyakan dalil hukum syariat bersifat dugaan karena berasal dari hadis ahad, dan hadis mutawatir relatif sedikit dibandingkan dengan hadis ahad. Hadis mutawatir memberi faedah kepastian, yaitu keyakinan. Adapun hadis ahad hanya memberi faedah dugaan saja, baik itu hadis yang gharib atau aziz, semua termasuk dalam hadis ahad, tetapi tetap harus diamalkan jika sahih atau hasan, namun tidak cukup dalam masalah akidah, berbeda dengan apa yang memberi kepastian dari Al-Qur'an dan hadis mutawatir, yang mana orang yang mengingkarinya menjadi kafir. Maka, urusan akidah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang pasti, baik dalil itu bersifat naqli maupun aqli. Ucapannya: (materinya adalah tentang zat Allah dan zat rasul-rasul-Nya, ...). Inilah memang materi bahasannya, ilmu tauhid bukanlah mengenai kaumnya; yang pertama kali wajib atas orang yang mukallaf adalah mengenal Allah, yaitu mengetahui hakikat Allah Ta'ala, karena Allah tidak bisa dikenal kecuali oleh Allah. Maksud mereka adalah mengenal sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya, apa yang mustahil bagi-Nya, dan apa yang mungkin bagi-Nya, Maha Suci Dia. Maka inilah yang dimaksud dari pembahasan ini. Adapun hakikat Allah Ta'ala tidak bisa diketahui oleh siapapun, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Penglihatan-penglihatan tidak dapat mencapai-Nya" (Al-An'am: 103), artinya penglihatan tidak dapat meliputi-Nya, bukan berarti Dia tidak bisa dilihat, karena orang-orang yang beriman akan melihat Tuhan mereka pada hari kiamat. Maka, ayat "tidak dapat meliputi-Nya" menafikan adanya peliputan. Dia tidak berkata bahwa penglihatan tidak melihat-Nya, tetapi "tidak dapat meliputi-Nya", dan ini adalah melihat tanpa meliputi.

 

 

 

 

كَمَا إِذَا قِيلَ لَك: هَلْ رَأَيْتَ السَّمَاءَ؟ فَإِنَّكَ تَقُولُ: نَعَمْ، فَإِذَا قِيلَ لَكَ: هَلْ أَحَطْتَ بِهَا؟ فَإِنَّكَ تَقُولُلَاوَهَذَا مَعْنَى: ﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ﴾ أَيْ لَا تُحِيطُ بِإِدْرَاكِهِ، فَالْمَعْنَى إِدْرَاكُهُ لَا رُؤْيَةُ الْبَصَرِ، وَقِيلَ مَعْنَى ﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ﴾ أَيْ فِي الدُّنْيَا بِخِلَافِ الْآخِرَةِ

قَوْلُهُ: وَمَا تَعَلَّقَ بِهَا مِنْ حَيْثُ الْوَاجِبِ وَالْمُمْكِنِ وَالْمُسْتَحِيلِ الْخ

أَيْ أَنَّ مَوْضُوعَهُ أَيْضًا: مَا تَعَلَّقَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ مِنْ حَيْثُ الصِّفَاتُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى وَهِيَ عِشْرُونَ صِفَةً،وَالْمُسْتَحِيلَةُ عِشْرُونَ صِفَةً، وَالْجَائِزَةُ صِفَةٌ وَاحِدَةٌ. وَفِي حَقِّ الرُّسُلِ أَرْبَعُ وَاجِبَاتٍ وَأَرْبَعُ مُسْتَحِيلَاتٍ وَوَاحِدَةٌ جَائِزَةٌ، فَنُصِيرُ تِسْعَ صِفَاتٍ بِالْإِضَافَةِ إِلَى صِفَاتِهِ تَعَالَى، فَيَكُونُ جُمْلَةُ ذَلِكَ خَمْسِينَ صِفَةً كَمَا قَالَ صَاحِبُ عَقِيدَةِ الْعَوَامِّ

فَاحْفَظْ لِخَمْسِينَ بِحُكْمٍ وَاجِبِ

وَعِلْمُ التَّوْحِيدِ حَصَرَ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: الْإِلَٰهِيَّاتِ وَالنُّبُوَّاتِ وَالسَّمْعِيَّاتِ، وَمَعْنَى الْإِلَٰهِيَّاتِ: أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالنُّبُوَّاتِ: أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِرُسُلِهِ الْكِرَامِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ، وَالسَّمْعِيَّاتِأَيْ مَا تَعَلَّقَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ مِنَ الْقَبْرِ وَالْعَذَابِ وَالْبَعْثِ وَالْحَشْرِ وَدُخُولِ الْجَنَّةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذِهِ تُسَمَّى سَمْعِيَّاتٍ لِأَنَّ أَدِلَّتَهَا لَيْسَتْ عَقْلِيَّةً وَإِنَّمَا سَمْعِيَّةٌ أَيْ مَسْمُوعَةٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَلِجُمْلَةِ خَمْسُونَ عَقِيدَةً أَيْ: يَجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَعْتَقِدَ هَذِهِ اعْتِقَادًا جَازِمًا لَا يُخَالِطُهُ شَكٌّ وَلَا رَيْبٌ وَلَا تَرَدُّدٌ،وَإِلَّا فَلَا يَقْبَلُ مِنْهُ مَعَ تَرَدُّدِهِ وَغَيْرِهِ وَلَا يَصِحُّ إِيمَانُهُ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Terjemahan:

Sebagaimana jika dikatakan kepadamu: "Apakah kamu melihat langit?" maka kamu akan berkata: "Ya." Jika kemudian dikatakan: "Apakah kamu meliputinya?" maka kamu akan menjawab: "Tidak." Inilah makna dari firman Allah: ﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ﴾, yaitu tidak meliputi-Nya dalam penglihatan, sehingga maknanya adalah penglihatan itu tidak meliputi-Nya, bukan berarti tidak melihat dengan mata. Dan ada yang mengatakan bahwa makna dari ayat ﴿لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ﴾ adalah di dunia, berbeda dengan di akhirat.

Ucapannya: (dan apa yang berkaitan dengan-Nya dari sisi yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil, dst.)

Artinya, materinya juga berkaitan dengan Allah dan para rasul-Nya dari sisi sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, yaitu dua puluh sifat, dan sifat-sifat yang mustahil, juga dua puluh sifat, serta sifat yang jaiz (mungkin), yaitu satu sifat. Sedangkan dalam hak para rasul terdapat empat sifat yang wajib, empat sifat yang mustahil, dan satu sifat yang mungkin. Maka jumlah sifat tersebut menjadi sembilan ketika ditambahkan pada sifat-sifat Allah, sehingga jumlah keseluruhan menjadi lima puluh sifat, sebagaimana yang disebutkan dalam Aqidah al-Awam:

"Peliharalah lima puluh dengan hukum wajib."

Ilmu tauhid mencakup tiga hal: ilahiyyat (ketuhanan), nubuwat (kenabian), dan sam'iyyat (hal-hal yang didasarkan pada dalil sam’i). Pengertian ilahiyyat adalah hal-hal yang berkaitan dengan Allah, sedangkan nubuwat berkaitan dengan para rasul-Nya yang mulia, semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka. Sam'iyyat adalah hal-hal yang berkaitan dengan hari akhir dan hal-hal yang terjadi setelahnya dari perkara-perkara ghaib seperti alam kubur, azab, kebangkitan, pengumpulan, dan masuknya ke dalam surga. Semua ini disebut dengan sam'iyyat karena dalil-dalilnya bukan berasal dari akal, melainkan berasal dari kitab dan sunnah. Oleh karena itu, lima puluh akidah tersebut harus diyakini oleh seorang mukmin dengan keyakinan yang tegas, tanpa keraguan, tanpa kebimbangan, dan tanpa keraguan apa pun, jika tidak, maka imannya tidak sah.

 

 

ثَمَرَتُهُ: مَعْرِفَةُ صِفَاتِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ، ثُمَّ الْفَوْزُ بِالسَّعَادَةِ الْأَبَدِيَّةِ بِسَبَبِهَا

فَضِيلَةٌ: سِيَادَتُهُ عَلَى جَمِيعِ الْعُلُومِ كُلِّهَا، إِذْ هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَالْمُتَعَلِّقُ بِكِبَرِ الْأُمُورِ يُشْرَفُ بِقَدْرِ شَرَفِ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِا

نِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُومِ: أَنَّهُ أَصْلٌ جَمِيعِ الْعُلُومِ الدِّينِيَّةِ، وَغَيْرِهِ فَرْعٌ لَهَا

قَوْلُهُ :ثَمَرَتُهُ: مَعْرِفَةُ صِفَاتِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ، ثُمَّ الْفَوْزُ بِالسَّعَادَةِ الْأَبَدِيَّةِ الْخ

ثَمَرَةٌ: أَيْ: فَائِدَةٌ لَهُ، وَقَالُوا: إِذَا الْإِنْسَانُ لَمْ يُحَفِّظْ هَذِهِ الْمَبَادِئِ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُحَفِّظَ ثَمَرَتَهَا: حَدَثٌ وَمَوْضُوعٌ وَثَمَرَةٌ وَشَرْعٌ، لِأَنَّ الْحِفْظَ يَعْرِفُ مَا هُوَ سِبَاعٌ فِي تَحْصِيلِهِ وَبِالْمَوْضُوعِ.. يَتَمَيَّزُ ذَلِكَ الْعِلْمُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُومِ، وَالثَّمَرَةُ.. يُقَرِّبُ بَاعِثَهُ عَلَى الطَّلَبِ، وَالْفَائِدَةُ الْحَقِيقِيَّةُ إِذَا الْإِنْسَانُ حَفِظَ عِلْمَ التَّوْحِيدِ فِي إِيجَادِ الْعِلَّةِ

قَوْلُهُ: (فَضِيلَةٌ: سِيَادَتُهُ عَلَى جَمِيعِ الْعُلُومِ كُلِّهَا الْخ)

أَيْ: أَنَّ عِلْمَ التَّوْحِيدِ هُوَ أَفْضَلُ الْعُلُومِ عَلَى الْإِطْلَاقِ، كَمَا قَالَ: (فَإِنَّ التَّوْحِيدَ أَفْضَلُ الْعُلُومِ بِلَا إِطْلَاقٍ، عَلَيْهِ يَعْرِفُ مَعْرِفَةَ الْخَلَاقِ) وَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي ذَلِكَ لِأَنَّهُ عِلْمٌ يَتَعَلَّقُ بِذَاتِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ، وَالْعِلْمُ يُشَرِّفُ بِشَرَفِ مُتَعَلِّقِهِ، وَلِأَنَّ بَقِيَّةَ الْعُلُومِ فُرُوعٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهِ وَهُوَ أَصْلٌ

قَوْلُهُ:  نِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُومِ الْخ

أَيْ: أَنَّهُ بَقِيَّةَ الْعُلُومِ فُرُوعٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهِ وَهُوَ أَصْلٌ، وَهَذَا شَيْءٌ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ، لِأَنَّ عِلْمَ الْأُصُولِ عَلَى قِسْمَيْنِ: أُصُولُ الدِّينِ وَأُصُولُ الْفِقْهِ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Buah dari Ilmu Tauhid:

Mengetahui sifat-sifat Allah dan rasul-Nya, kemudian memperoleh kebahagiaan abadi karenanya.

Keutamaannya:

Keutamaannya di atas semua ilmu lainnya, karena ilmu ini berkaitan dengan Allah dan rasul-Nya. Sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal besar, kemuliaannya ditentukan oleh derajat yang dihubungkannya.

Keterkaitannya dengan ilmu lain:

Bahwa ilmu ini adalah induk dari semua ilmu agama, sedangkan ilmu lain adalah cabangnya.

Ucapannya: Buahnya adalah mengetahui sifat-sifat Allah dan rasul-Nya, lalu memperoleh kebahagiaan abadi (dst.)

Buahnya, yakni manfaat dari ilmu ini. Para ulama mengatakan, jika seseorang tidak hafal prinsip-prinsip ilmu ini, maka paling tidak ia menghafal buahnya: prinsip, pokok bahasan, buahnya, dan landasannya. Karena pemahaman terhadap prinsip ilmu ini membuat orang lebih mampu mencapainya. Dengan memahami pokok bahasannya, ilmu ini dapat dibedakan dari ilmu lainnya, sedangkan buahnya mendekatkan motivasi untuk menuntutnya. Manfaat sebenarnya adalah ketika seseorang menguasai ilmu tauhid dalam memahami penyebabnya.

Ucapannya: Keutamaannya di atas semua ilmu (dst.)

Bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak, sebagaimana yang disebutkan: "Tauhid adalah ilmu paling mulia tanpa pengecualian, karena dengannya seseorang mengenal Sang Pencipta." Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini karena ilmu ini berkaitan dengan zat Allah dan rasul-Nya. Ilmu tersebut dimuliakan karena hal yang dikaitkan dengannya, dan semua ilmu lainnya merupakan cabang darinya, sedangkan ilmu tauhid adalah induknya.

Ucapannya: Keterkaitannya dengan ilmu lain (dst.)

Artinya, ilmu lainnya adalah cabang dari ilmu tauhid, sedangkan ilmu tauhid adalah induknya. Ini juga termasuk dalam ilmu ushuluddin, karena ilmu ushul terbagi menjadi dua: ushuluddin (pokok-pokok agama) dan ushul fiqh (pokok-pokok fikih).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 وَاضِعُهُ اللهُ حَقِيقَةً، وَبِصِفَةِ كَوْنِهِ فَنًّا مُدَوَّنًا: الإِمَامُ أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيُّ المُتَوَفَّى سَنَةَ ٣٣٤ه‍، وَالإِمَامُ أَبُو مَنْصُورٍ المَاتُرِيدِيُّ المُتَوَفَّى سَنَةَ ٣٣٣ه‍، وَأَتْبَاعُهُمَا مِنَ الأَشَاعِرَةِ وَالمَاتُرِيدِيَّةِ: (أَهْلُ السُّنَّةِ)، وَأَمَّا مِنَ المُعْتَزِلَةِ فَكَثِيرُونَ، كَوَاصِلِ بْنِ عَطَاءٍ المُتَوَفَّى سَنَةَ ۱۸۱ه‍، وَمِنْ بَعْدِهِ مِنْ أَئِمَّتِهِمْ

قَوْلُهُ: (وَاضِعُهُ اللهُ حَقِيقَةً) نَعَمْ الوَاضِعُ الحَقِيقِيُّ هُوَ اللهُ تَعَالَى لِأَنَّ صِفَاتِهِ تَعَالَى مَذْكُورَةٌ فِي القُرْآنِ وَفِي السُّنَّةِ، وَلَكِنْ أَوَّلُ مَنْ أَلَّفَهُ وَدَوَّنَهُ وَرَتَّبَهُ هُوَ إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ الإِمَامُ أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيُّ وَاسْمُهُ عَلِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الأَشْعَرِيُّ، إِمَامُ أَهْلِ العَقِيدَةِ الأَشْعَرِيَّةِ، وَكَذَلِكَ الإِمَامُ أَبُو مَنْصُورٍ المَاتُرِيدِيُّ وَاسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ المَاتُرِيدِيُّ. وَأَتْبَاعُ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَى عَقِيدَةِ الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِيِّ، وَأَمَّا أَصْحَابُ الإِمَامِ أَبِي مَنْصُورٍ المَاتُرِيدِيِّ فَقَلِيلٌ فِي بِلَادِ مَا وَرَاءَ النَّهْرِ، أَيْ نَهْرِ جَيْحُونَ بِخُرَاسَانَ، وَالخِلَافُ بَيْنَهُمَا قَلِيلٌ، وَفِي الحَقِيقَةِ إِنَّمَا هُوَ خِلَافٌ لَفْظِيٌّ فِي أَقَلِّ عَشْرِ مَسَائِلَ: كَتَعْرِيفِ الشَّقِيِّ وَالسَّعِيدِ، فَأَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيُّ يَقُولُ: إِنَّ الشَّقِيَّ مَنْ شَقِيَ فِي الأَزَلِ، وَلَا عِبْرَةَ بِالحَالَةِ الرَّاهِنَةِ، فَقَدْ يَكُونُ يُصَلِّي وَيَصُومُ قَالَ صَاحِبُ الزُّبَدِ :إِنَّ الشَّقِيَّ لَشَقِيُّ الأَزَل

وَعَكْسُهُ السَّعِيدُ لَمْ يُبْدَلِ

وَالسَّعِيدُ مَنْ سَبَقَ فِي الأَزَلِ أَنَّهُ سَعِيدٌ وَلَا عِبْرَةَ بِالحَالَةِ الرَّاهِنَةِ كَمَا قَالَ صَاحِبُ الزُّبَدِ

لَمْ يَزَلِ الصِّدِّيقُ فِيمَا قَدْ مَضَى

عِنْدَ إِلَهِهِ بِحَالَةِ الرِّضَا

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

 

Pencetusnya adalah Allah secara hakiki, dan dalam bentuk ilmu yang tertulis: Imam Abu Hasan Al-Asy'ari yang wafat pada tahun 334 H dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi yang wafat pada tahun 333 H, serta para pengikut mereka dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah: (Ahlussunnah). Sedangkan dari kalangan Mu'tazilah banyak sekali, seperti Wasil bin Atha' yang wafat pada tahun 181 H dan para imam mereka setelahnya.

 

Penjelasan mengenai pernyataan: (Pencetusnya adalah Allah secara hakiki)

Ya, pencetus yang hakiki adalah Allah Ta'ala, karena sifat-sifat-Nya disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi orang yang pertama kali menulis, menyusun, dan mengaturnya adalah Imam Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy'ari. Namanya adalah Ali bin Isma'il Al-Asy'ari, pemimpin mazhab teologi Asy'ariyah. Begitu pula Imam Abu Mansur Al-Maturidi, namanya Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Kebanyakan pengikut dari empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menganut akidah Imam Abu Hasan Al-Asy'ari. Adapun pengikut Imam Abu Mansur Al-Maturidi lebih sedikit, mereka berada di wilayah Transoxiana, yaitu di seberang Sungai Jayhun di Khurasan. Perbedaan antara keduanya sedikit, dan pada hakikatnya hanya berupa perbedaan istilah dalam kurang lebih sepuluh masalah, seperti dalam mendefinisikan orang yang sengsara dan orang yang bahagia. Abu Hasan Al-Asy'ari mengatakan bahwa orang yang sengsara adalah yang sudah ditetapkan sengsara sejak zaman azali, dan keadaan saat ini tidak dianggap, meskipun ia mungkin sedang menjalankan shalat dan puasa. Sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab "Az-Zubad":

إِنَّ الشَّقِيَّ لَشَقِيُّ الأَزَلِ

وَعَكْسُهُ السَّعِيدُ لَمْ يُبْدَلِ

"Orang yang sengsara adalah yang sudah ditetapkan sengsara sejak azali, sebaliknya, orang yang bahagia tidak akan berubah menjadi sengsara." Orang yang bahagia adalah yang sejak azali sudah ditetapkan bahagia, dan keadaan saat ini tidak dianggap, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis "Az-Zubad":

لَمْ يَزَلِ الصِّدِّيقُ فِيمَا قَدْ مَضَى

عِنْدَ إِلَهِهِ بِحَالَةِ الرِّضَا

"Sahabat yang jujur (orang yang bahagia) telah berada dalam keadaan ridha di sisi Tuhannya sejak zaman dahulu kala."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

فَيُقَالُ لَهُ: سَعِيدٌ، وَإِنْ كَانَ الآنَ كَافِرًا أَوْ مُجْرِمًا أَوْ ظَالِمًا، لَكِنَّهُ قَدْ سَبَقَ فِي عِلْمِ اللهِ يَمُوتُ عَلَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، لَكِنَّنَا لَا نَطَّلِعُ عَلَى ذٰلِكَ، لِأَنَّ الخَاتِمَةَ تَتْبَعُ السَّابِقَةَ، وَمَتَى نَعْرِفُ ذٰلِكَ؟ نَعْرِفُهُ بِالخَاتِمَةِ، فَمَنْ مَاتَ عَلَى الإِيمَانِ عَرَفْنَا أَنَّهُ سَعِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ عَلَى الكُفْرِ عَرَفْنَا أَنَّهُ شَقِيٌّ، فَلَا عِبْرَةَ بِالحَالَةِ الرَّاهِنَةِ، فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِيِّ: لَا يَنْقَلِبُ حَالُ السَّعَادَةِ إِلَى الشَّقَاوَةِ، وَلَا حَالُ الشَّقَاوَةِ إِلَى السَّعَادَةِ، فَمَنْ سَبَقَ أَنَّهُ سَعِيدٌ فَهُوَ سَعِيدٌ، وَمَنْ سَبَقَ فِي عِلْمِ اللهِ أَنَّهُ شَقِيٌّ فَهُوَ شَقِيٌّ

وَأَمَّا مَذْهَبُ الإِمَامِ أَبِي مَنْصُورٍ المَاتُرِيدِيِّ، فَإِنَّ ذٰلِكَ يَنْقَلِبُ، فَإِذَا شَخْصٌ مُؤْمِنٌ فَهُوَ سَعِيدٌ، فَإِذَا كَفَرَ... انْقَلَبَتِ السَّعَادَةُ إِلَى الشَّقَاوَةِ، وَإِذَا كَانَ مَثَلًا كَافِرًا فَهُوَ شَقِيٌّ، وَبَعْدَ ذٰلِكَ أَسْلَمَ... انْقَلَبَتِ الشَّقَاوَةُ إِلَى السَّعَادَةِ عَلَى مَذْهَبِهِ

وَهُمَا مُتَّفِقَانِ عَلَى أَنَّ مَنْ مَاتَ عَلَى الإِيمَانِ... سَعِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ عَلَى الكُفْرِ... شَقِيٌّ، وَإِنَّمَا الخِلَافُ مِنْ جِهَةِ التَّسْمِيَةِ فَقَطْ، وَمَذْهَبُ الأَشْعَرِيَّةِ وَالمَاتُرِيدِيَّةِ مُتَوَسِّطٌ مَا بَيْنَ مَذْهَبِ الجَبْرِيَّةِ وَمَذْهَبِ المُعْتَزِلَةِ، أَيْ تَوَسَّطُوا بَيْنَهُمَا، فَخَرَجَ مَذْهَبُهُمَا مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ

وَلِهٰذَا يَقُولُ الإِمَامُ الحَدَّادُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:

وَكُنْ أَشْعَرِيًّا فِي اعْتِقَادِكَ إِنَّهُ

هُوَ المَنْهَلُ الصَّافِي عَنِ الزَّيْغِ وَالكُفْرِ

فَالقَوْلُ بِالزَّيْغِ... هُوَ مَذْهَبُ المُعْتَزِلَةِ، وَالكُفْرُ... هُوَ مَذْهَبُ الجَبْرِيَّةِ، لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيْسَ لَهُ اِخْتِيَارٌ كَالرِّيشَةِ فِي صَحْرَاءَ تُقَلِّبُهَا الرِّيَاحُ كَيْفَ شَاءَتْ، أَيْ إِنَّ الخَلْقَ كُلَّهُمْ مَجْبُورُونَ وَمَقْهُورُونَ عَلَى مَا يَأْتُونَ وَيَذَرُونَ، لَيْسَ لَهُمْ اِخْتِيَارٌ وَلَا رَأْيٌ، وَأَنَّ أَفْعَالَهُمْ تُشْبِهُ أَفْعَالَ المَجَانِينِ وَالسَّاهِي وَالنَّائِمِ

وَهٰذَا المَذْهَبُ يُفْهَمُ بُطْلَانُهُ بِبَدِيهَةِ العَقْلِ، لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى القَوْلِ بِأَنَّهُ لَا فَائِدَةَ مِنْ إِرْسَالِ الرُّسُلِ وَإِنْزَالِ الكُتُبِ، وَيَقُولُونَ: إِنَّهُ لَا تَضُرُّ مَعَ الإِيمَانِ مَعْصِيَةٌ، كَمَا لَا تَنْفَعُ مَعَ الكُفْرِ طَاعَةٌ، وَهٰذَا مَذْهَبٌ بَاطِلٌ

وَأَمَّا المُعْتَزِلَةُ: فَلَا يَقُولُونَ هٰكَذَا، وَإِنَّمَا بِدْعَتُهُمْ أَنَّ العَبْدَ يَخْلُقُ أَفْعَالَ نَفْسِهِ الاِخْتِيَارِيَّةَ، بِقُوَّةٍ أَوْدَعَهَا اللهُ فِيهِ، وَلِهٰذَا لَمْ يَكْفُرُوا لِمَا قَالُوا بِقُوَّةٍ أَوْدَعَهَا اللهُ فِيهِ، وَأَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ فَأَفْعَالُ العَبْدِ سَوَاءٌ...

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Dikatakan kepadanya: dia adalah orang yang bahagia, meskipun saat ini dia seorang kafir, penjahat, atau zalim, tetapi telah tertulis dalam ilmu Allah bahwa dia akan meninggal dalam keadaan mengucapkan 'La ilaha illallah.' Namun, kita tidak mengetahuinya karena akhir kehidupan mengikuti permulaan. Kapan kita mengetahuinya? Kita mengetahuinya dari akhirnya, jadi siapa pun yang meninggal dalam keadaan iman, kita mengetahui bahwa dia adalah orang yang bahagia, dan siapa pun yang meninggal dalam keadaan kafir, kita mengetahui bahwa dia adalah orang yang celaka. Maka, keadaan saat ini tidak menjadi ukuran.

Menurut madzhab Abu Hasan Al-Asy'ari, keadaan bahagia tidak akan berubah menjadi celaka, begitu juga keadaan celaka tidak akan berubah menjadi bahagia. Barang siapa yang telah ditetapkan sebagai orang yang bahagia, maka dia akan tetap bahagia. Dan barang siapa yang telah tertulis dalam ilmu Allah sebagai orang yang celaka, maka dia akan tetap celaka.

Namun, menurut madzhab Imam Abu Mansur Al-Maturidi, hal itu bisa berubah. Jika seseorang beriman, maka dia adalah orang yang bahagia, namun jika dia kemudian menjadi kafir, maka kebahagiaannya berubah menjadi kesengsaraan. Sebaliknya, jika seseorang adalah kafir, maka dia adalah orang yang celaka, namun jika kemudian dia masuk Islam, kesengsaraannya berubah menjadi kebahagiaan.

Keduanya sepakat bahwa siapa pun yang meninggal dalam keadaan iman, maka dia adalah orang yang bahagia, dan siapa pun yang meninggal dalam keadaan kafir, maka dia adalah orang yang celaka. Perselisihan mereka hanya pada istilah saja.

 

**Madzhab Asy'ariyah dan Maturidiyah berada di tengah-tengah antara madzhab

 

 

 

كَانَتِ اضْطِرَارِيَّةً أَوِ اخْتِيَارِيَّةً كُلُّهَا مِنْ فِعْلٍ وَخَلْقِ اللهِ، وَالَّذِي يُنْسَبُ إِلَى العَبْدِ إِنَّمَا هُوَ الاِخْتِيَارُ وَالكَسْبُ، أَمَّا الفَاعِلُ الحَقِيقِيُّ فَهُوَ اللهُ تَعَالَى.

وَأَوَّلُ مَنْ أَسَّسَ مَذْهَبَ المُعْتَزِلَةِ هُوَ وَاصِلُ بْنُ عَطَاءٍ، وَكَانَ يُجَالِسُ الإِمَامَ الحَسَنَ البَصْرِيَّ وَمِنْ تَلَامِيذِهِ، وَكَانَ دَائِمًا مَا يَسْأَلُ الإِمَامَ الحَسَنَ البَصْرِيَّ فِي المَسَائِلِ الخِلَافِيَّةِ حَتَّى طَرَدَهُ، وَقَالَ لَهُ: اِعْتَزِلْ عَنَّا، وَلِهَذَا سُمِّيَ مَذْهَبُهُ وَمَنْ تَبِعَهُ بِالمُعْتَزِلَةِ.

 

 

Terjemahan:

Baik itu perbuatan yang bersifat terpaksa atau sukarela, semuanya adalah perbuatan dan ciptaan Allah, dan yang dinisbatkan kepada hamba hanyalah pilihan dan usaha (kasb), sedangkan pelaku yang sebenarnya adalah Allah Ta'ala.

Orang pertama yang mendirikan madzhab Mu'tazilah adalah Wasil bin Atha'. Dia sering duduk bersama Imam Hasan al-Basri dan merupakan salah satu muridnya. Wasil selalu bertanya kepada Imam Hasan al-Basri tentang persoalan-persoalan yang kontroversial, hingga akhirnya dia diusir oleh Imam Hasan, yang berkata kepadanya: "Menjauhlah dari kami." Oleh karena itu, madzhabnya dan pengikutnya disebut sebagai Mu'tazilah.

[

 

 

 

 

 

 

 

 

اَسْمُهُ: (عِلْمُ التَّوْحِيدِ)؛ لِأَنَّ أَهَمَّ مَبَاحِثِهِ، إِثْبَاتُ وَحْدَانِيَّةِ اللهِ. وَ (عِلْمُ الْكَلَامِ)؛ لِأَنَّ أَشْهَرَ مَسْأَلَةٍ كَثُرَ الْاخْتِلَافُ فِيهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ الْمُتَقَدِّمِينَ مَسْأَلَةُ كَلَامِ اللهِ أَوْ لِأَنَّهُمْ يَصْدُرُونَ أَبْوَابَهُ بِقَوْلِهِمْ: الْكَلَامُ عَلَى كَذَا. وَيُسَمَّى أَيْضًا: عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ وَلَهُ أَسْمَاءٌ أُخْرَى لَا يُحْتَمَلُهَا الْمَقَامُ.

قَوْلُهُ: (اسْمُهُ: عِلْمُ التَّوْحِيدِ الخ) أَي اشْتَهَرَ هَذَا الْفَنُّ بِعِلْمِ التَّوْحِيدِ، وَلمَاذَا قَالَ إنَّهُ سُمِّيَ بِه؟ لِأَنَّ أَهَمَّ مَبَاحِثِ هَذَا الْعِلْمِ وَحْدَانِيَّةُ اللهِ فَلِهَذَا سُمِّيَ عِلْمَ التَّوْحِيدِ. قَوْلُهُ: وَعِلْمُ الْكَلَامِ) أَيْ: وَيُسَمَّى عِلْمَ الْكَلَامِ وَالْمُنَاسَبَةُ فِي تَسْمِيَتِهِ بِذَلِكَ كَمَا قَالَ الْمُصَنِّفُ لِأَنَّ أَشْهَرَ مَسْأَلَةٍ كَثُرَ الْاخْتِلَافُ فِيهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ الْمُتَقَدِّمِينَ.. مَسْأَلَةُ كَلَامِ اللهِ تَعَالَى.. هَلْ هُوَ كَلَامٌ قَدِيمٌ أَوْ حَادِثٌ؟ وَهَذَا الإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَمَّا حَصَلَتْ تِلْكَ الْفِتْنَةُ حَتَّى حُبِسَ وَضُرِبَ.. كُلُّهُ بِسَبَبِ أَنَّهُ كَانَتْ هُنَاكَ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَكَانُوا مِنَ الْمُقَرَّبِينَ عِندَ الْمَأْمُونِ فَأَجْبَرُوا الْعُلَمَاءَ أَنْ يَقُولُوا أَنَّ كَلَامَ اللهِ مَخْلُوقٌ، فَأَبَى الإِمَامُ أَحْمَدُ وَنَاظَرَهُمْ فَحُبِسَ وَضُرِبَ وَبَعْضُهُمْ هَرَبَ، وَبَعْضُهُمْ قُتِلَ، وَبَعْضُهُمْ مَخْلُوقٌ، وَهُوَ مُجْبَرٌ، أَمَّا الإِمَامُ أَحْمَدُ فَأَبَى لِأَنَّهُ قُدْوَةٌ لِلنَّاسِ وَلَوْ قَالَ لَتَتْبَعَهُ الْأُمَّةُ، فَصَبَرَ وَثَبَتَ حَتَّى لَا تَضِلَّ الْأُمَّةُ، حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الإِمَامَ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ دَخَلَ الْكِيرَ فَخَرَجَ ذَهَبًا صَرْفًا، وَقَدْ رَأَى الإِمَامَ الشَّافِعِيَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رُؤْيَا يَقُولُ لَهُ فِيهَا: "بَشِّرْ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تَصِيبُهُ" كَمَا حَصَلَ ذَلِكَ لِسَيِّدِنَا عُثْمَانَ، وَبَقِيَ الإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ مَسْجُونًا فِي عَهْدِ الْمَأْمُونِ وَالْمُعْتَصِمِ وَالْمُتَوَكِّلِ، وَأُفْرِجَ عَنْهُ فِي خِلَافَةِ الْوَاثِقِ بِاللَّهِ وَأَكْرَمَهُ بَعْدَ خُرُوجِهِ، وَقِيلَ: سُمِّيَ عِلْمَ الْكَلَامِ لِأَنَّهُمْ يُصَدِّرُونَ الْأَبْوَابَ بِقَوْلِهِمْ: الْكَلَامُ عَلَى كَذَا، الْكَلَامُ عَلَى كَذَا، فَسُمِّيَ عِلْمَ الْكَلَامِ مِنْ هُنَا.

 

Terjemahan:

Namanya: (Ilmu Tawhid); karena pokok pembahasan terpentingnya adalah membuktikan keesaan Allah. Dan (Ilmu Kalam); karena masalah yang paling terkenal dan banyak diperdebatkan di kalangan para ulama terdahulu adalah masalah: "Kalam Allah." Atau karena mereka membuka bab-babnya dengan mengatakan: "Pembicaraan tentang ini." Ini juga disebut: Ilmu Asal-Usul Agama dan memiliki nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan di sini.

Dia menyatakan: "Namanya: Ilmu Tawhid," artinya seni ini dikenal sebagai Ilmu Tawhid. Mengapa disebut demikian? Karena pokok pembahasan terpenting ilmu ini adalah keesaan Allah, maka disebut Ilmu Tawhid. Dia juga menyebutkan: "Ilmu Kalam," artinya: dan juga disebut Ilmu Kalam, dan relevansi namanya seperti yang dikatakan oleh penulis karena masalah yang paling terkenal dan banyak diperdebatkan di kalangan para ulama terdahulu adalah masalah Kalam Allah Ta'ala... apakah Kalam-Nya itu qadim (kuno) atau hadith (baru)? Imam Ahmad bin Hanbal ketika terjadi fitnah tersebut hingga beliau dipenjara dan disiksa... semua itu karena ada sekelompok Mu'tazilah yang dekat dengan Al-Ma'mun, sehingga para ulama dipaksa untuk mengatakan bahwa Kalam Allah itu makhluk. Namun Imam Ahmad menolak dan mendebat mereka, sehingga beliau dipenjara dan disiksa. Sebagian dari mereka melarikan diri, sebagian lagi dibunuh, dan sebagian lainnya terpaksa mengaku makhluk. Namun Imam Ahmad menolak karena beliau menjadi teladan bagi orang-orang. Jika beliau berkata demikian, maka umat ini akan mengikutinya. Beliau bersabar dan bertahan agar umat tidak tersesat, hingga sebagian berkata: "Imam Ahmad bin Hanbal masuk dalam kunci, lalu keluar sebagai emas murni." Beliau juga melihat Imam Syafi'i dalam mimpi, yang berkata kepadanya: "Sampaikan kepada Ahmad bin Hanbal bahwa ia akan mendapatkan surga atas cobaan yang menimpanya," seperti yang terjadi pada Sayyidina Utsman. Imam Ahmad bin Hanbal ditahan selama masa pemerintahan Al-Ma'mun, Al-Mu'tashim, dan Al-Mutawakkil. Ia dibebaskan pada masa kekhalifahan Al-Wathiq Billah dan dihormati setelah keluar. Dikatakan bahwa Ilmu Kalam dinamakan demikian karena mereka membuka bab-babnya dengan mengatakan: "Pembicaraan tentang ini," "Pembicaraan tentang itu," sehingga disebut Ilmu Kalam dari sini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

قَوْلُهُ: (وَيُسَمَّى أَيْضًا: عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ) كَذَٰلِكَ يُسَمَّى هَذَا الْعِلْمُ عِلْمَ أُصُولِ الدِّينِ (١)؛ لِأَنَّ بَقِيَّةَ الْعُلُومِ بِنِسْبَةٍ إِلَيْهِ فَرْعٌ وَهُوَ أَصْلٌ لَهَا، وَيُقَالُ: الْأَصْلَانِ، لِعُلُومِ الأُصُولِ أَي عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ وَعِلْمُ أُصُولِ الْفِقْهِ، وَلَهُ أَسْمَاءٌ أُخْرَى كَمَا قَالَ الْمُصَنِّفُ.

 

Terjemahan:

Dia berkata: "Dan juga disebut: Ilmu Asal-Usul Agama." Dengan demikian, ilmu ini disebut Ilmu Asal-Usul Agama (1), karena ilmu-ilmu lainnya dibandingkan dengan ilmu ini adalah cabang, sedangkan ilmu ini adalah pokoknya. Dan dikatakan: "Dua pokok," untuk ilmu-ilmu dasar, yaitu Ilmu Asal-Usul Agama dan Ilmu Asal-Usul Fiqh. Ia memiliki nama-nama lain seperti yang dinyatakan oleh penulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

قوله: (مأخذُهُ أو استمدادُهُ من الأدلةِ والبراهينِ القطعيَّةِ)

كذلك مِمَّا ينبغي معرفتُهُ من العشرةِ المبادئِ لكلِّ علمٍ مأخذُهُ أو استمدادُهُ، وعلمُ التوحيدِ مُستَمدٌّ من الأدلةِ القطعيَّةِ إما من الكتابِ أو من السُّنَّةِ المتواترةِ أو من إجماعِ الأمَّةِ، وبعضُهم يقول إنَّ استمدادَهُ من قواطعِ النقولِ وسواطعِ العقولِ. قواطعُ النقولِ: أي الأدلةُ القطعيَّةُ النقليَّةُ من القرآنِ كما في قولِهِ تعالى: ﴿أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ﴾ [الغاشية: ۱۷ - ۱۸]، وكما في قولِهِ تعالى: ﴿إِنَّ في خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَةً لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴾ [آل عمران: ١٩٠]، ومن السُّنَّةِ المتواترةِ أو الإجماعِ.

وسواطعُ العقولِ: أي الأدلةُ العقليَّةُ، فهل يُتصوَّرُ وجودُ شيءٍ بدونِ صانعٍ؟ لا، فلو خرجَ إنسانٌ إلى الصحراءِ ورأى فيها قُبَّةً مضروبةً فهل يُتصوَّرُ في العقلِ أنَّ هذه القُبَّةَ ضَرَبَتْ نفسَها بنفسِها؟ لا، إذ لا شكَّ أنَّ ناصباً نصبَها، وهذه السمواتُ والأرضونَ السبعُ وما بينَهما لا بدَّ لها من خالقٍ وصانعٍ يخلقُها فلا يُتصوَّرُ أنَّها خلقتْ نفسَها بنفسِها كما قالَ تعالى: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ﴿أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ * أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ﴾ [الطور: ٣٥-٣٦]. ويُروَى أنَّ أعرابياً أسلمَ وذهبَ إلى قومِه، فسألوه: ما دليلكَ على وجودِ إلهِكَ هذا الذي يدعوكَ إليهِ محمدٌ؟ فقالَ: "يا قومِ الأثَرُ يدلُّ على المسيرِ، والبعرُ يدلُّ على البعيرِ، والروثُ يدلُّ على الحميرِ، وهذه سماواتٌ ذاتُ أبراجٍ، وأرضٌ ذاتُ فِجاجٍ، وبحارٌ ذاتُ أمواجٍ."

 

Terjemahan:

Ucapannya: (Sumber atau landasannya dari dalil-dalil dan bukti-bukti yang pasti)

Demikian juga, di antara hal yang perlu diketahui dari sepuluh prinsip setiap ilmu adalah sumber atau landasannya. Ilmu tauhid bersumber dari dalil-dalil yang pasti, baik dari Al-Qur’an, dari hadits yang mutawatir, atau dari ijma’ umat. Sebagian ulama mengatakan bahwa sumbernya berasal dari dalil-dalil naqli yang pasti (qath’i) dan bukti-bukti logis yang terang benderang (burhan aqli). Dalil naqli yang pasti misalnya seperti firman Allah Ta’ala: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan” [Al-Ghasyiyah: 17-18], dan firman-Nya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [Ali 'Imran: 190], serta dari hadits yang mutawatir atau ijma’.

 

Bukti-bukti logis: yaitu dalil-dalil yang bersifat akal. Apakah mungkin sesuatu ada tanpa ada yang menciptakan? Tentu tidak. Jika seseorang pergi ke padang pasir dan melihat sebuah tenda yang berdiri di sana, apakah mungkin akal menerima bahwa tenda itu berdiri sendiri tanpa ada yang mendirikannya? Tentu tidak. Tidak diragukan lagi bahwa ada seseorang yang mendirikannya. Demikian pula dengan langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, pasti ada pencipta dan pembuatnya. Tidak mungkin semuanya menciptakan dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi? Tetapi mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)” [Ath-Thur: 35-36]. Dikisahkan bahwa seorang Arab Badui masuk Islam dan kembali ke kaumnya. Mereka bertanya kepadanya: "Apa dalilmu tentang keberadaan Tuhan yang diajak Muhammad kepadamu?" Dia menjawab: "Wahai kaumku, jejak kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan, kotoran unta menunjukkan adanya unta, dan kotoran keledai menunjukkan adanya keledai. Langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, dan lautan yang memiliki ombak, semua ini menunjukkan adanya Tuhan yang menciptakannya."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

أفلا تَدُلُّ على صَانِعٍ خَبِيرٍ؟ والإِمَامُ الشَّافِعِيُّ لَمَّا سُئِلَ عَن وُجُودِ اللهِ تَعَالَى قَالَ: "اُنظُرْ إِلَى وَرَقِ التُّوتِ، تَأكُلُهُ البَهِيمَةُ فَيَصِيرُ بَعَرَةً، وتَأكُلُهُ النَّحلَةُ فَيَخرُجُ مِنهَا العَسَلُ، وتَأكُلُهُ الدُّودَةُ فَيَخرُجُ مِنهَا القَزُّ، مَعَ أَنَّ المَادَّةَ وَاحِدَةٌ، ولَو كَانَ ذَلِكَ مِن فِعلِ الطَّبِيعَةِ لَكَانَتِ النَّتِيجَةُ وَاحِدَةً". فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى وُجُودِ اللهِ تَعَالَى.

قَولُهُ: (حُكمُ الشَّارِعِ فِي تَعَلُّمِهِ وُجُوبُ مَعرِفَةِ مَا يَجِبُ وَمَا يَجُوزُ الخ) لِتَعَلُّمِ كُلِّ عِلمٍ مِن العُلُومِ حُكمٌ مِن وَاجِبٍ أَو مَندُوبٍ أَو فَرضِ عَينٍ أَو فَرضِ كِفَايَةٍ، وَحُكمُ هَذَا العِلمِ أَنَّ القَدرَ الَّذِي يُخرِجُ الإِنسَانَ مِن حَيِّزِ التَّقلِيدِ هَذَا فَرضُ عَينٍ، حَتَّى لا يَكُونَ مُقَلِّدًا، لِأَنَّ التَّقلِيدَ لا يَجُوزُ فِي العَقَائِدِ، وَإِنَّمَا يَجُوزُ التَّقلِيدُ فِي الفُرُوعِ أَي فِي الأَحكَامِ الفِرعِيَّةِ.

وَمَعنَى التَّقلِيدِ أَي الأَخذُ بِقَولِ الغَيرِ مِن غَيرِ مَعرِفَةِ الدَّلِيلِ. فَعِلمُ التَّوحِيدِ وَالعَقَائِدِ لا يَجُوزُ التَّقلِيدُ فِيهِمَا، وَسَيَأتِي الكَلامُ عَلَى هَذَا. فَإِذَا لَم يَعرِفِ الإِنسَانُ هَذَا القَدرَ الَّذِي يُخرِجُهُ مِن حَيِّزِ التَّقلِيدِ فَهُوَ آثِمٌ. وَأَمَّا القَدرُ الزَّائِدُ عَلَى ذَلِكَ بِأَن يَتَبَحَّرَ فِي عِلمِ التَّوحِيدِ حَتَّى يَتَأَهَّلَ لِلرَّدِّ عَلَى الخُصُومِ الَّذِينَ يُثِيرُونَ الشُّبَهَ عَلَى الإِسلَامِ مِن الكُفَّارِ وَمِن المُبتَدِعَةِ بِحَيثُ يَستَطِيعُ الرَّدَّ عَلَيهِم وَيُنَاظِرَهُم، فَهَذَا القَدرُ فَرضُ كِفَايَةٍ لا فَرضُ عَينٍ، وَيَجِبُ أَن يَكُونَ هُنَاكَ مَن يَتَأَهَّلُ لِذَلِكَ فِي كُلِّ مَسَافَةِ قَصرٍ، وَقِيلَ: فِي كُلِّ مَسَافَةِ عَدْوَى كَالمُفتِي حَتَّى لا تُثَارَ الشُّبَهُ عَلَى الإِسلَامِ، كَمَا فِي قِصَّةِ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي جَاءَ إِلَى بَغدَادَ فِي أَيَّامِ الإِمَامِ أَبِي...

 

Terjemahan:

Apakah semua ini tidak menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Mengetahui? Imam Asy-Syafi'i, ketika ditanya tentang bukti keberadaan Allah Ta’ala, berkata: "Lihatlah daun pohon murbei, dimakan oleh binatang, lalu menjadi kotoran. Dimakan oleh lebah, keluar menjadi madu. Dimakan oleh ulat, keluar menjadi sutra. Padahal, bahan asalnya sama. Seandainya semua ini hasil dari perbuatan alam, maka hasilnya pasti akan sama." Ini adalah bukti adanya Allah Ta’ala.

Ucapannya: (Hukum syariat dalam mempelajarinya adalah kewajiban mengetahui apa yang wajib, apa yang boleh, dst.) Setiap ilmu memiliki hukumnya sendiri, apakah wajib, dianjurkan, fardhu ‘ain, atau fardhu kifayah. Hukum mempelajari ilmu ini adalah bahwa kadar yang mengeluarkan seseorang dari status taklid merupakan fardhu ‘ain, agar seseorang tidak menjadi pengikut tanpa dasar. Sebab, taklid tidak diperbolehkan dalam masalah akidah, meskipun diperbolehkan dalam masalah cabang atau hukum furu' (fikih).

Makna taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Ilmu tauhid dan akidah tidak boleh diambil dengan taklid, dan akan dijelaskan lebih lanjut tentang hal ini. Jika seseorang tidak mengetahui kadar yang mengeluarkannya dari status taklid, maka ia berdosa. Sedangkan kadar yang lebih dari itu, yaitu dengan mendalami ilmu tauhid hingga seseorang mampu membantah para penentang yang menimbulkan keraguan terhadap Islam, baik dari kalangan kafir maupun ahli bid’ah, dan mampu berdebat dengan mereka, maka ini adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Harus ada orang yang memiliki kemampuan tersebut di setiap daerah, sebagaimana disebutkan bahwa di setiap wilayah perjalanan atau jarak tertentu harus ada mufti, agar keraguan terhadap Islam tidak muncul, seperti dalam kisah seseorang yang datang ke Baghdad pada masa Imam Abu...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

...حَنِيفَةَ، وَلَعَلَّهُ مَجُوسِيٌّ أَو نَصْرَانِيٌّ. وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ وَجَعَلَ يَسْأَلُ الْعُلَمَاءَ وَأَفْحَمَهُمْ، لِأَنَّ أَغْلَبَهُمْ عَوَامٌ أَو عُلَمَاءُ غَيْرِ مُتَّصِفِينَ بِالْعِلْمِ أَو غَيْرِ مُتَأَهِّلِينَ.

فَبَلَغَ الْخَبَرُ إِلَى أَبِي حَنِيفَةَ فَخَرَجَ وَوَجَدَ هَذَا الرَّجُلَ فَوْقَ الْمِنبَرِ يَسْأَلُ النَّاسَ، فَوَقَفَ أَمَامَهُ وَقَالَ لَهُ: أَنتَ السَّائِلُ أَمِ الْمَسْئُولُ؟ قَالَ: أَنَا السَّائِلُ. فَقَالَ لَهُ الإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ: السَّائِلُ يَكُونُ فِي الْأَسْفَلِ وَالْمَسْئُولُ فِي الْأَعْلَى. فَنَزَلَ الرَّجُلُ وَصَعِدَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَقَالَ لَهُ: اسْأَلْ. فَقَالَ: أَنْتُمْ تَقُولُونَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَوْجُودٌ، وَمَعْنَى مَوْجُودٍ أَنْ يَكُونَ فِي مَكَانٍ؟ أَمَّا أَنَّهُ مَوْجُودٌ لَا يَحُدُّهُ مَكَانٌ وَلَا زَمَانٌ، فَهَذَا لَا يَدْخُلُ فِي الْعَقْلِ! وَهُوَ يُرِيدُ فَدَعَا الإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ بِقَدَحٍ مِن لَبَنٍ، وَقَالَ لَهُ: مِنْ أَيْنَ يُتَّخَذُ السَّمْنُ؟ قَالَ: مِنْ هَذَا اللَّبَنِ. قَالَ: مِنْ أَيْنَ مِنْ هُنَا أَو مِنْ هُنَاكَ؟ قَالَ: مِنْ كُلِّهِ. فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: وَهَكَذَا رَبُّنَا لَا يَحُدُّهُ زَمَانٌ وَلَا مَكَانٌ. ثُمَّ قَالَ الرَّجُلُ: أَنْتُمْ تَقُولُونَ إِنَّ اللَّهَ قَدِيمٌ لَيْسَ قَبْلَهُ شَيْءٌ، وَهَذَا لَا يُتَصَوَّرُ. فَأَنْتَ قَبْلَكَ أَبُوكَ وَقَبْلَهُ جَدُّكَ، وَهَكَذَا، أَمَّا أَنْ يُوجَدَ شَيْءٌ لَيْسَ قَبْلَهُ شَيْءٌ فَهَذَا لَا يَدْخُلُ فِي الْعَقْلِ. فَقَالَ لَهُ أَبُو حَنِيفَةَ: كَمْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: عَشَرَةٌ. قَالَ: مَا أَوَّلُهَا؟ قَالَ: وَاحِدٌ. قَالَ: مَا قَبْلَ الْوَاحِدِ؟ قَالَ: لَا شَيْءَ. قَالَ: فَاللَّهُ تَعَالَى كَذَلِكَ.

ثُمَّ قَالَ الرَّجُلُ: أَنْتُمْ تَقُولُونَ إِنَّ اللَّهَ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ، فِي أَيِّ عَمَلٍ أَو وَظِيفَةٍ هُوَ الْآنَ؟ فَقَالَ الإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ: شُؤُونٌ يُبْدِيها وَلَا يُبْتَدِيها، يَرْفَعُ أَقْوَامًا وَيَضَعُ آخَرِينَ كَمَا رَفَعَنِي مِن تَحْتِ الْمِنبَرِ إِلَى فَوْقِهِ وَوَضَعَكَ مِن فَوْقِهِ إِلَى تَحْتِهِ، فَانْبَهَرَ الرَّجُلُ وَوَلَّى خَائِبًا

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الْأَخِيرَةُ سُئِلَ عَنْهَا الإِمَامُ ابْنُ الشَّجَرِيِّ لَمَّا كَانَ فِي دَرْسٍ لَهُ أَي عَنْ مَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ ﴾ [الرَّحْمَـٰن: 29] وَلَم يَكُنْ عِندَ ابْنِ الشَّجَرِيِّ عِلْمٌ بِالْجَوَابِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ، أَي لَمْ يَحْضُرْهُ الْجَوَابُ، فَقَالَ لَهُ: أُجِيبُكَ فِي الْغَدِ. فَأَمْسَى وَهُوَ يُفَكِّرُ ثُمَّ نَامَ فَرَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: شُؤُونٌ...

 

Terjemahan:

...Hanafiyah, dan mungkin ia seorang Majusi atau Nasrani. Ia masuk ke masjid dan mulai bertanya kepada para ulama, dan ia berhasil membuat mereka kebingungan, karena kebanyakan dari mereka adalah orang awam atau ulama yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam atau belum memenuhi syarat.

Berita itu sampai kepada Abu Hanifah, maka beliau keluar dan menemukan orang tersebut sedang berada di atas mimbar, bertanya kepada orang-orang. Abu Hanifah berdiri di hadapannya dan bertanya: "Apakah kamu yang bertanya atau yang ditanya?" Ia menjawab: "Saya yang bertanya." Maka Abu Hanifah berkata: "Orang yang bertanya berada di bawah, sedangkan yang ditanya berada di atas." Maka orang itu turun, dan Abu Hanifah naik ke mimbar. Kemudian ia berkata kepadanya: "Tanyakanlah."

 

Orang itu bertanya: "Kalian mengatakan bahwa Allah Ta'ala ada, dan makna ada adalah harus berada di tempat. Sedangkan kalian mengatakan bahwa Dia ada tanpa dibatasi oleh waktu atau tempat, ini tidak bisa diterima oleh akal!" Dia ingin membuktikannya. Imam Abu Hanifah meminta segelas susu dan bertanya kepadanya: "Dari mana mentega dibuat?" Dia menjawab: "Dari susu ini." Abu Hanifah bertanya lagi: "Dari mana, dari sini atau dari sana?" Dia menjawab: "Dari semuanya." Abu Hanifah menjelaskan: "Begitulah Rabb kita, Dia tidak dibatasi oleh waktu atau tempat."

Kemudian orang itu bertanya: "Kalian mengatakan bahwa Allah adalah Abadi, tidak ada yang mendahului-Nya, dan ini tidak bisa dipahami. Bukankah engkau memiliki ayah yang mendahuluimu, dan ayahmu memiliki kakek, dan seterusnya? Adakah sesuatu yang ada tanpa ada yang mendahuluinya? Ini tidak dapat diterima oleh akal!" Abu Hanifah menjawab: "Berapa jari tanganmu?" Dia menjawab: "Sepuluh." Abu Hanifah bertanya: "Apa yang pertama?" Dia menjawab: "Satu." Abu Hanifah melanjutkan: "Apa yang sebelum satu?" Dia menjawab: "Tidak ada." Abu Hanifah menjelaskan: "Begitu juga Allah Ta'ala."

Kemudian orang itu melanjutkan: "Kalian mengatakan bahwa Allah setiap hari berada dalam urusan. Sekarang dalam urusan apa Dia?" Imam Abu Hanifah menjawab: "Urusan yang Dia tampakkan tetapi tidak Dia mulai. Dia mengangkat sebagian dan merendahkan sebagian lainnya, seperti saat Dia mengangkatku dari bawah mimbar ke atas dan menurunkanmu dari atas ke bawah." Orang itu terkesima dan pergi dengan kecewa.

Dan masalah terakhir ini juga ditanyakan kepada Imam Ibn Asy-Syajari ketika beliau berada dalam sebuah pelajaran tentang makna firman Allah Ta’ala: “Setiap hari Dia berada dalam urusan.” (Ar-Rahman: 29). Pada saat itu, Ibn Asy-Syajari tidak mengetahui jawabannya dan berkata: "Saya akan menjawabmu besok." Ia kemudian menghabiskan malamnya dengan berpikir, lalu tidur. Dalam tidurnya, ia melihat Nabi Muhammad SAW dan menanyakan hal itu kepadanya. Nabi menjawab: "Urusan..."

 

يُبْدِيها لا يُبْتَدِيها، يَرْفَعُ أَقْوَامًا وَيَضَعُ آخَرِينَ، وَأَخْبَرَهُ أَنَّ هَذَا السَّائِلَ هُوَ الْخَضِرُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ وَجَاءَ السَّائِلُ، أَجَابَهُ بِذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ السَّائِلُ: صَلِّ عَلَى مَنْ عَلَّمَكَ

وَيُحْكَى أَنَّ قَوْمًا مِنَ الدَّهْرِيِّينَ وَهُمْ مَنْ يَنْسِبُونَ الْأَشْيَاءَ إِلَى الطَّبِيعَةِ جَاؤُوا إِلَى الْمَنْصُورِ الْعَبَّاسِيِّ يَسْأَلُونَ عَنْ مَسَائِلَ، فَأَرْسَلَ الْمَنْصُورُ الْعَبَّاسِيُّ إِلَى أَبِي حَنِيفَةَ أَنْ يَأْتِيَ سَرِيعًا، فَسَأَلَ أَبُو حَنِيفَةَ الرَّسُولَ عَنْ الدَّهْرِيِّينَ فَتَبَاطَأَ أَبُو حَنِيفَةَ فِي الْمَجِيءِ عَامِدًا، فَلَمَّا وَصَلَ قَالَ لَهُ الْمَنْصُورُ: لِمَاذَا تَأَخَّرْتَ وَقَدْ أَمَرْتُ أَنْ تَسْرِعَ بِالْمَجِيءِ؟ قَالَ: لَمَّا جَاءَ رَسُولُكَ جِئْتُ إِلَى النَّهْرِ، وَكَانَ بَيْتُهُ مِنْ وَرَاءِ النَّهْرِ - فَلَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا فَصَبَرْتُ حَتَّى تَجَمَّعَتِ الْأَلْواحُ، وَرَكَّبْتُ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ بِنَفْسِهَا، ثُمَّ جَاءَتِ الْمَسَامِيرُ فَسَمَّرَتْ نَفْسَهَا، ثُمَّ صَعِدْتُ الْمَرْكَبَ وَمَشَى مِنْ غَيْرِ تَجْدِيفٍ !! وَجَوَابُهُ هَذَا بِحَضْرَةِ الدَّهْرِيِّينَ فَاعْتَرَضُوا وَصَاحُوا قَائِلِينَ: هَذَا لَا يُتَصَوَّرُ، فَقَالَ: يَا جَهَلَاءَ يَا أَغْبِيَاءَ، إِذَا لَمْ يُتَصَوَّرْ هَذَا بِفِعْلِ فَاعِلٍ!! فَهَذِهِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالنُّجُومُ هَلْ يَتَصَوَّرُ وُجُودُهَا بِغَيْرِ صَانِعٍ؟ أَمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ لَهَا مِنْ خَالِقٍ وَصَانِعٍ حَكِيمٍ، فَأَسْكَتَهُمْ وَأَفْحَمَهُمْ.

قَوْلُهُ: (بِأَنْ يُعْتَقَدَ اعتقادًا تَامًّا مُطَابِقًا لِلْوَاقِعِ) أي: لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ اعتقاده تَامًّا جَازِمًا لَا يُخَالِطُهُ شَكٌّ وَلَا رَيْبٌ وَلَا غَيْرُ ذَلِكَ، وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ اعتقاده مُطَابِقًا لِلْوَاقِعِ، هَذَا مَعْرِفَةً، لأنَّ الْمَعْرِفَةَ: هِيَ الْاِعْتِقَادُ الجَازِمُ الْمُوافِقُ أَوِ الْمُطَابِقُ لِمَا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ

وَيُسَمَّى الْأَمْرُ عَنْ دَلِيلٍ بِمَا يَجِبُ، وَمَا يَجُوزُ، وَمَا يَسْتَحِيلُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى؛

فَقَوْلُنَا الجَازِمُ.. خَرَجَ بِهِ الظَّنُّ وَالْوَهْمُ وَالشَّكُّ؛

وَقَوْلُنَا: الْمُوَافِقُ لِمَا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ أيِ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ، وَيَخْرُجُ بِذَلِكَ اعتقادُ الْفَلاسِفَةِ بِقِدَمِ الْعَالَمِ، لأنَّ هَذَا غَيْرُ مُطَابِقٍ لِلْوَاقِعِ، وَاعتقادُ النَّصَارَى بِأَلُوهِيَّةِ عِيسَى فَهُوَ غَيْرُ مُطَابِقٍ لِلْوَاقِعِ فَلَا يُسَمَّى ذَلِكَ مَعْرِفَةً بَل يُسَمَّى جَهْلًا.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Dia menunjukkan (yaitu, Allah) urusan yang Dia tampakkan, tetapi tidak Dia mulai; Dia mengangkat sebagian orang dan merendahkan sebagian lainnya. Dia juga memberitahunya bahwa orang yang bertanya itu adalah Khidir. Ketika pagi tiba dan orang itu datang, Abu Hanifah menjawabnya dengan penjelasan itu, lalu orang itu berkata: "Shalawatlah kepada orang yang mengajarkanmu."

Diceritakan bahwa sekelompok orang dari kalangan para penganut materialisme (Al-Dahrīyīn), yaitu orang-orang yang mengaitkan segala sesuatu dengan alam, datang kepada Al-Mansur Al-Abbasi untuk bertanya tentang beberapa masalah. Al-Mansur mengirimkan pesan kepada Abu Hanifah agar segera datang. Abu Hanifah bertanya kepada utusan itu tentang orang-orang materialis tersebut dan sengaja memperlambat kedatangannya. Ketika ia sampai, Al-Mansur bertanya: "Mengapa kamu terlambat padahal aku telah memerintahkanmu untuk segera datang?" Abu Hanifah menjawab: "Ketika utusanmu datang, saya pergi ke sungai, dan rumahnya berada di seberang sungai - saya tidak menemukan perahu, jadi saya sabar hingga papan-papan berkumpul, saya menyusun beberapa papan itu satu sama lain, lalu paku-paku datang dan memaku dirinya sendiri, kemudian saya naik perahu dan perahu itu bergerak tanpa mendayung!!" Jawabannya ini di hadapan para penganut materialis membuat mereka berteriak dan berkata: "Ini tidak bisa dibayangkan!" Maka Abu Hanifah menjawab: "Wahai orang-orang bodoh dan dungu, jika ini tidak bisa dibayangkan sebagai tindakan dari pelaku, lalu bagaimana dengan langit, bumi, dan bintang-bintang? Apakah mereka bisa ada tanpa seorang pencipta? Atau tidak ada yang menciptakan dan mengatur mereka yang bijaksana? Maka ia pun membuat mereka terdiam dan tidak bisa menjawab.

Cita-cita untuk memiliki keyakinan yang mantap dan sesuai dengan kenyataan adalah suatu hal yang harus dimiliki. Ini berarti keyakinan itu harus mantap, pasti, dan tidak terpengaruh oleh keraguan, ketidakpastian, atau hal lain. Keyakinan itu juga harus sesuai dengan kenyataan; ini adalah pengertian dari pengetahuan, karena pengetahuan adalah keyakinan yang mantap sesuai atau sejalan dengan kenyataan.

 

Dan ini disebut dengan berdasarkan bukti mengenai apa yang wajib, apa yang diperbolehkan, dan apa yang tidak mungkin terjadi dalam hak Allah Ta’ala;

Ketika kita menyatakan "mantap", itu mengecualikan dugaan, keraguan, dan ketidakpastian;

Dan ketika kita menyatakan "sesuai dengan kenyataan," itu juga mengecualikan keyakinan para filsuf yang percaya akan kekekalan alam, karena itu tidak sesuai dengan kenyataan, dan keyakinan orang-orang Nasrani tentang ketuhanan Isa juga tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga tidak disebut sebagai pengetahuan, tetapi disebut sebagai kebodohan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

الْوَاجِبُ عَلَى أَهْلِ كُلِّ نَاحِيَةٍ بِالْفَرْضِ الْكِفَائِيِّ أَنْ يَكُونَ مِنْهُمْ مَنْ يَعْرِفُ الرَّدُودَ عَلَى الْكَافِرِينَ وَالْمُبْتَدِعَةِ وَدَفْعَ شُبَهِهِمْ بِأَنْ يَتَبَحَّرَ فِي هَذَا الْفَنِّ وَيُحِيطَ بِهِ. وَجُوبُ الدَّلِيلِ عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ: يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ أَنْ يَعْرِفَ دَلِيلًا عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ وَلَوْ إِجْمَالِيًّا وَإِلَّا فَهُوَ مُقَلِّدٌ فِي إِيمَانِهِ. قَوْلُهُ: (الْوَاجِبُ عَلَى أَهْلِ كُلِّ نَاحِيَةٍ بِالْفَرْضِ الْكِفَائِيِّ أَنْ يَكُونَ مِنْهُمْ مَنْ يَعْرِفُ الرَّدُودَ الخ) أَي: كَمَا قُلْنَا لَكُمْ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ نَاحِيَةٍ، قِيلَ: فِي كُلِّ مَسَافَةٍ قَصْرٍ، وَقِيلَ: فِي كُلِّ مَسَافَةٍ عَدْوٍ أَنْ يَكُونَ فِيهِمْ مَنْ يَتَبَحَّرُ فِي هَذَا الْعِلْمِ لِيَعْرِفَ كَيْفَ يَرُدُّ عَلَى الْمُبْتَدِعَةِ كَالرَّوَافِضِ، وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْكَافِرِينَ كَالنَّصَارَى وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ يُثِيرُ الشُّبَهَ حَوْلَ الْإِسْلَامِ، وَهَذَا لَيْسَ فَرْضَ عَيْنٍ، وَإِنَّمَا فَرْضٌ كِفَايَةٍ إِذَا قَامَ بِهِ الْبَعْضُ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنْ الْبَاقِينَ، أَمَّا فَرْضُ الْعَيْنِ فَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي يُخْرِجُهُ عَنْ حَيْزِ التَّقْلِيدِ فَقَطْ كَمَا تَقَدَّمَ، لَكِنَّ أَكْثَرَ سَادَاتِنَا آلَ أَبِي عَلَوِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَا يُحِبُّونَ التَّبَحُّرَ فِي هَذَا الْعِلْمِ أَي: عِلْمَ التَّوحِيدِ، وَلَا يَتَوَغَّلُونَ فِيهِ، وَيَكْتَفُونَ بِعَقِيدَةِ الْإِمَامِ الْغَزَالِيِّ الَّتِي ذَكَرَهَا فِي الْإِحْيَاءِ، وَيُقَرِّرُونَهَا لِأَوْلَادِهِمْ وَبَنَاتِهِمْ فَلَا يَقْرَأُونَ فِي السِّنُوسِيَّةِ وَأُمِّ الْبَرَاهِينِ وَنَحْوِهِمَا. وَلَمَّا سَأَلَ الْحَبِيبُ عِيدُروسُ بْنُ عُمَرَ الْحَبَشِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاحِدًا مِنْ آلِ الْحَبَشِيِّ لِمَاذَا السَّادَةُ آلُ أَبِي عَلَوِيٍّ لَا يُحِبُّونَ أَنْ يَتَبَحَّرُوا فِي هَذَا الْعِلْمِ؟ قَالَ: لِأَنَّ مَذْهَبَهُمْ قَوْلُهُ تَعَالَى: أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ [إِبْرَاهِيمَ: 10]: أَي: لَيْسَ عِندَهُمْ شَكٌّ فَهَذَا مَذْهَبُهُمْ فِي عِلْمِ التَّوحِيدِ، ثُمَّ ضَرَبَ الْحَبِيبُ عِيدُروسُ بْنُ عُمَرَ الْحَبَشِيِّ لَهُ مَثَلًا، وَقَالَ: أَيْشَ قِيَاسُكَ! لَوْ أَلَّفَ أَحَدُهُمْ كِتَابًا فِي تَرْجَمَةِ جَدِّكَ الْعِيدُرُسِ وَقَالَ: فَصْلٌ فِي الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِأَعْمَى، أَوْ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِبَخِيلٍ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحَجَّامٍ!! فَهَلْ هَذَا مَدْحٌ أَوْ ذَمٌّ؟ لِأَنَّ الْأَمْرَ وَاضِحٌ؛

 

Terjemahan:

Kewajiban bagi setiap daerah dengan kewajiban kolektif (fard kifayah) adalah adanya seseorang di antara mereka yang mengetahui jawaban atas argumen-argumen dari orang-orang kafir dan para pengikut bid’ah serta mampu mengatasi keraguan-keraguan mereka dengan mendalami ilmu ini dan menguasainya.

Kewajiban memiliki bukti untuk mengenal Allah: Seorang mukallaf harus mengetahui bukti untuk mengenal Allah, walaupun secara umum; jika tidak, maka ia hanya mengikuti (taqlid) dalam keimanannya.

Ia berkata: "Kewajiban bagi setiap daerah dengan kewajiban kolektif (fard kifayah) adalah adanya seseorang di antara mereka yang mengetahui jawaban..." Ini menunjukkan bahwa, seperti yang telah kami katakan, bahwa di setiap daerah, ada yang mengatakan: di setiap jarak yang diperpendek, dan ada yang mengatakan: di setiap jarak yang dituju, harus ada di antara mereka yang mendalami ilmu ini agar dapat mengetahui cara membantah para pengikut bid’ah seperti Rafidhah (Syiah) dan lainnya dari kalangan kafir seperti Nasrani dan semisalnya yang mengemukakan keraguan terhadap Islam. Ini bukanlah kewajiban individu (fard 'ain), melainkan kewajiban kolektif (fard kifayah); jika sebagian melakukannya, maka tidak ada dosa bagi yang lainnya. Adapun kewajiban individu (fard 'ain) adalah batasan yang mengeluarkan seseorang dari ketergantungan taqlid saja, seperti yang telah kami sebutkan. Namun, banyak dari para ulama kita, keluarga Abu Alawi, رضي الله عنهم, tidak menyukai pendalaman ilmu ini, yaitu ilmu tawhid, dan mereka tidak mau terjun dalamnya; mereka cukup dengan akidah Imam Al-Ghazali yang disebutkan dalam kitab Ihya dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka, baik putra maupun putri, tanpa membaca buku-buku seperti Sunnah dan Um Al-Baraheen dan sejenisnya.

Ketika Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, رضي الله عنه, ditanya oleh salah satu keluarga Al-Habsyi mengapa keluarga Abu Alawi tidak menyukai pendalaman ilmu ini, beliau menjawab: "Karena mazhab mereka berdasarkan firman Allah Ta'ala: 'Apakah ada keraguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi?' (Ibrahim: 10): Artinya, mereka tidak memiliki keraguan. Ini adalah mazhab mereka dalam ilmu tawhid." Kemudian Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi memberikan contoh: "Bagaimana menurutmu! Jika seseorang menulis buku tentang silsilah kakekmu, Al-Iydarus, dan mengatakan: 'Bab tentang bukti bahwa dia bukan orang buta, atau bahwa dia bukan orang pelit, atau bahwa dia bukan seorang tukang cukur!!' Apakah ini pujian atau celaan? Karena perkara ini sangat jelas."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

كَمَا قَالَتْ تِلْكَ الْمَرْأَةُ عِنْدَمَا دَخَلَ الْإِمَامُ الزَّمَخْشَرِيُّ إِلَى بَعْضِ الْبِلَادِ، وَكَانَ قَدْ أَلَّفَ كِتَابًا مِنْ تَبَحُّرِهِ فِي عِلْمِ التَّوحِيدِ، جَمَعَ فِيهِ أَلْفَ دَلِيلٍ وَدَلِيلٍ اسْتَدَلَّ بِهَا عَلَى وُجُودِ اللَّهِ، فَعَظَّمُوهُ وَاحْتَفَلُوا بِهِ وَتَنَحَّوْا عَنْ طَرِيقِهِ، وَكَانَتْ امْرَأَةٌ عَجُوزٌ تَمْشِي فَقَالُوا لَهَا: تَنَحَّي تَنَحَّي فَقَالَتْ: لِمَاذَا؟ قَالُوا: هَذَا الْإِمَامُ الزَّمَخْشَرِيُّ سَيَمُرُّ فِي هَذَا الطَّرِيقِ وَقَدْ أَلَّفَ كِتَابًا فِيهِ أَلْفُ دَلِيلٍ وَدَلِيلٍ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ... فَضَحِكَتْ تِلْكَ الْعَجُوزُ، وَقَالَتْ: وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَفْهَامِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ

فَحَمَلُوا قَوْلَتَهَا إِلَيْهِ، فَاعْتَرَفَ وَقَالَ: اللَّهُمَّ إِيمَانًا كَإِيمَانِ الْعَجَائِزِ؛ وَبَعْضُهُمْ سَأَلَ: آخِرُ مَا الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ لَهُ: إِذَا أَنْتَ عَرَفْتَ اللَّهَ تَعَالَى فَلَا تَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ وَلَكِنَّكَ لَمْ تَعْرِفْ اللَّهَ

قَوْلُهُ: (وَجُوبُ الدَّلِيلِ عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ: يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ أَنْ يَعْرِفَ دَلِيلًا عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ وَلَوْ إِجْمَالِيًّا)

أَيْ أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ عَلَى الإِنْسَانِ الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللَّهِ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ مَعْرِفَةُ ذَاتِهِ وَحَقِيقَتِهِ.. إِذْ لَا يُعْرَفُ اللَّهَ إِلَّا اللَّهُ وَإِنَّمَا مَعْرِفَةُ مَا يَجِبُ لَهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَمَا يَسْتَحِيلُ، وَمَا يَجُوزُ إِلَى آخِرِ ذَلِكَ، فَهَذَا الْمُرَادُ بِهِ وَجَرَى عَلَيْهِ صَاحِبُ الزُّبُدِ حَيْثُ قَالَ: أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْإِنْسَانِ مَعْرِفَةُ الْإِلَهِ بِاسْتِيقَانٍ. قَالَ سَيِّدُنَا أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: الْعَجْزُ عَنْ دَرْكِ الْإِدْرَاكِ إِدْرَاكٌ وَالتَّفَكُّرُ فِي ذَاتِ اللَّهِ.. إِشْرَاكٌ، ثُمَّ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلاثَةِ أَقْوَالٍ: فَمِنْهُمْ مَن يَقُولُ أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ مَعْرِفَةُ اللَّهِ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Sebagaimana dikatakan oleh wanita itu ketika Imam al-Zamakhshari memasuki salah satu negara, dan ia telah menulis sebuah buku hasil dari pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu tauhid, di mana ia mengumpulkan seribu bukti dan dalil untuk membuktikan keberadaan Allah. Mereka mengagungkannya dan merayakannya serta menjauh dari jalannya. Ada seorang wanita tua yang sedang berjalan, lalu mereka berkata kepadanya: "Menjauh, menjauh!" Dia bertanya: "Mengapa?" Mereka menjawab: "Imam al-Zamakhshari akan lewat di jalan ini, dan dia telah menulis buku yang berisi seribu bukti dan dalil tentang keberadaan Allah..." Wanita tua itu tertawa dan berkata: "Tidak ada yang benar dalam akal jika siang membutuhkan bukti.

Mereka menyampaikan ucapan wanita itu kepadanya, maka ia mengakui dan berkata: "Ya Allah, berikanlah iman seperti iman para wanita tua." Beberapa orang bertanya: "Apa bukti terakhir tentang keberadaan Allah?" Ia menjawab: "Jika kamu telah mengenal Allah, maka kamu tidak perlu bukti. Namun kamu belum mengenal Allah."

Pernyataan: (Kewajiban bukti dalam mengenal Allah: Wajib bagi setiap yang terikat hukum untuk mengetahui bukti tentang mengenal Allah, meskipun secara umum).

Artinya, bahwa kewajiban pertama bagi seorang manusia yang terikat hukum adalah mengenal Allah, dan itu bukan berarti mengenal diri-Nya dan hakikat-Nya, karena tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah sendiri, melainkan mengenal apa yang seharusnya ada padanya dari sifat-sifat dan apa yang mustahil, dan apa yang mungkin, hingga seterusnya. Ini adalah maksudnya, dan penulis "Al-Zubdah" menyatakan: "Kewajiban pertama bagi seorang manusia adalah mengenal Tuhan dengan keyakinan."

Saidina Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه berkata: "Ketidakmampuan untuk mencapai pemahaman adalah pemahaman, dan merenungkan sifat Allah adalah syirik." Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang hal ini dalam tiga pendapat: Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kewajiban pertama adalah mengenal Allah

 

قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ ﴾ [الزمر: ٦٧] وَفِي الْحَدِيثِ: «تَفَكَّرُوا فِي مَخْلُوقَاتِ اللَّهِ وَلَا تَتَفَكَّرُوا فِي ذَاتِ اللَّهِ فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوهُ قَدْرَهُ». وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: أَوَّلُ وَاجِبٍ هُوَ النَّظَرُ فِي الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ، لِأَنَّ النَّظَرَ فِي الْأَدِلَّةِ مُوَصِّلٌ إِلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ. وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: أَوَّلُ وَاجِبٍ هُوَ الْقَصْدُ إِلَى النَّظَرِ فِي الْأَدِلَّةِ، فَهُوَ نَظَرٌ لِأَنَّ لِلْوَسَائِلِ حُكْمَ الْمَقَاصِدِ، وَكُلُّهَا فِي الْحَقِيقَةِ مَرْجِعُهَا إِلَى شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللَّهِ. لِأَنَّ الْأَوَّلَ نَظَرٌ إِلَى الْمَقْصُودِ، وَالثَّانِي نَظَرٌ إِلَى الْوَسِيلَةِ، وَالثَّالِثَ نَظَرٌ إِلَى وَسِيلَةِ الْوَسِيلَةِ، فَكُلُّهَا تَرْجِعُ كَمَا قُلْنَا إِلَى شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللَّهِ تَعَالَى. قَالَ تَعَالَى: ﴿ سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ﴾ [فصلت: ٥٣]. لَكِنْ بِالنِّسْبَةِ إِلَى ﴾ فَرْضِ الْعَيْنِ ﴿ يَكْفِي مَعْرِفَةُ الدَّلِيلِ الْإِجْمَالِيِّ، وَإِلَّا فَهُوَ مُقَلِّدٌ فِي إِيمَانِهِ، وَحُكْمُ إِيمَانِ الْمُقَلِّدِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَقْوَالٍ كَمَا سَيَأْتِي. فَإِذَا قِيلَ لِشَخْصٍ مَا الدَّلِيلُ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ؟ فَقَالَ: هَذِهِ الْكَوَانَاتُ... فَيُكْفَى مِنْهُ ذَلِكَ وَلَا يَكُونُ مُقَلِّدًا، بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَ لَا يَعْرِفُ حَتَّى الدَّلِيلَ الْإِجْمَالِيَّ فَهُوَ مُقَلِّدٌ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي جَرَى خِلَافٌ فِي إِيمَانِهِ. أَمَّا بِالنِّسْبَةِ إِلَى فَرْضِ الْكِفَايَةِ.. فَلَا بُدَّ أَنْ يَعْرِفَ الدَّلِيلَ بِالتَّفْصِيلِ كَمَا مَرَّ. قَالَ ابْنُ الْمُعَتَزِّ: كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ وَتَسْكِينُ أَثَرٌ شَاهِدٌ وَاللَّهُ فِي كُلِّ تَحْرِيكَةٍ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ الْوَاحِدُ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya” (Az-Zumar: 67). Dalam sebuah hadits: “Berpikirlah kalian tentang ciptaan-ciptaan Allah dan janganlah berpikir tentang Diri-Nya, karena kalian tidak akan mampu mengagungkan-Nya.”

Beberapa orang mengatakan: "Kewajiban pertama adalah memandang kepada bukti-bukti yang menunjukkan pengenalan terhadap Allah, karena memandang kepada bukti-bukti tersebut membawa kepada pengenalan Allah." Beberapa lainnya mengatakan: "Kewajiban pertama adalah niat untuk melihat bukti-bukti tersebut, karena tujuan dari sarana adalah sama dengan tujuan utama." Semua itu pada hakikatnya kembali kepada satu hal, yaitu pengenalan kepada Allah. Karena yang pertama adalah melihat kepada tujuan, yang kedua adalah melihat kepada sarana, dan yang ketiga adalah melihat kepada sarana dari sarana. Semua ini kembali kepada satu hal, yaitu pengenalan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan Kami) di ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia-lah yang hak” (Fussilat: 53).

Namun, dalam hal “fard ‘ain” (kewajiban individu), cukup bagi seseorang untuk mengetahui bukti secara umum, jika tidak, maka dia adalah seorang yang mengikuti tanpa pemahaman dalam imannya. Sedangkan hukum iman bagi orang yang mengikuti tanpa pemahaman memiliki empat pendapat, yang akan datang. Jika seseorang ditanya, "Apa bukti keberadaan Allah?" lalu dia menjawab, "Ini adalah makhluk-makhluk..." maka jawaban tersebut sudah cukup baginya dan tidak dianggap mengikuti tanpa pemahaman. Berbeda halnya jika dia tidak mengetahui bahkan bukti umum, maka dia adalah seorang yang mengikuti. Inilah yang menjadi perdebatan dalam keimanannya. Adapun dalam hal “fard kifayah” (kewajiban kolektif), maka dia harus mengetahui bukti tersebut dengan rinci, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ibn al-Mu’tazz berkata: "Bagaimana orang yang ingkar bisa mengingkari-Nya, sungguh mengherankan bagaimana Dia dilanggar, padahal semua pergerakan dan setiap hal memiliki tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah yang Maha Esa.

الدَّلِيلُ الْإِجْمَالِيُّ: هُوَ الَّذِي يُعْجِزُ صَاحِبَهُ عَنْ تَفْصِيلِهِ وَدَفْعِ شُبَهِهِ وَالِاعْتِرَاضَاتِ الْوَارِدَةِ عَلَيْهِ. مِثَالُهُ: أَنْ يَسْتَدِلَّ عَلَى وُجُودِ اللَّهِ بِهَذَا الْكَوْنِ فَقَطْ، وَلَا يَعْرِفُ طَرِيقَ الْاسْتِدْلَالِ، هَلْ هِيَ بِحُدُوثِهِ أَمْ بِإِمْكَانِ حُدُوثِهِ، أَمْ بِكِلَاهُمَا مَعًا؟

وَأَمَّا الدَّلِيلُ التَّفْصِيلِيُّ فَهُوَ ضِدُّهُ تَمَامًا

قَوْلُهُ: (الدَّلِيلُ الْإِجْمَالِيُّ: هُوَ الَّذِي يُعْجِزُ صَاحِبَهُ عَنْ تَفْصِيلِهِ وَدَفْعِ شُبَهِهِ... الخ) هَذَا الدَّلِيلُ الْإِجْمَالِيُّ أَيْ الَّذِي يُعْجِزُ صَاحِبَهُ عَنْ تَفْصِيلِهِ وَدَفْعِ شُبَهِهِ، وَمِثَالُهُ كَمَا قَصَّ الأَعْرَابِيُّ الَّذِي قَالَ: الْبَعْرَةُ تَدُلُّ عَلَى الْبَعِيرِ كَمَا مَرَّ. فَهَذَا لَا يَعْرِفُ طَرِيقَةَ الْاسْتِدْلَالِ بِالتَّفْصِيلِ، لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يُوجَدْ الصَّانِعُ لِهَذَا الْعَالَمِ لَكَانَ هَذَا الْعَالَمُ غَيْرَ مُوجَدٍ، فَوُجُودُ هَذَا الْعَالَمِ يَدُلُّ عَلَى وُجُودِ صَانِعٍ وَهُوَ الْبَارِي وَالْخَالِقُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، لِأَنَّ الأَصْلَ الْعَدَمُ أَيْ الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْعَدَمُ، وَالْوُجُودُ حَادِثٌ. فَالْعَدَمُ وَالْوُجُودُ كَكِفَّتَيْ الْمِيزَانِ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَتَرَجَّحَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى إِلَّا بِمُرَجِّحٍ.. وَالْعَالَمُ وَعَدَمُهُ أَيْضًا كَكِفَّتَيْ الْمِيزَانِ فَلَا يُمْكِنُ تَرْجِيحُ وُجُودِهِ عَلَى عَدَمِهِ إِلَّا بِمُرَجِّحٍ وَهُوَ وُجُودُ الصَّانِعِ، وَإِلَّا لَبَقِيَ الْعَالَمُ فِي حَيْزِ الْعَدَمِ. بَلِ الأَصْلُ الْعَدَمُ، فَالَّذِي رَجَّحَ وُجُودَ الْعَالَمِ عَلَى عَدَمِهِ الَّذِي هُوَ خِلَافُ الأَصْلِ.. هُوَ وُجُودُ مَن يُوجِدُهُ وَهُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. فَمَن نَظَرَ إِلَى السَّمَاوَاتِ وَمَا فِيهَا مِن بَدَائِعِ الْمُكَوِّنَاتِ وَإِلَى الْأَرْضِ وَمَا فِيهَا مِن عَجَائِبِ الْمَخْلُوقَاتِ وَإِلَى مَا بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُعْتَقِدْ وُجُودَ الصَّانِعِ.. فَهُوَ مُصَابٌ فِي عَقْلِهِ قَدْ حَلَّ بِهِ الْخَذْلَانُ وَأَحَاطَ بِهِ الْخُسْرَانُ

وَأَمَّا الدَّلِيلُ التَّفْصِيلِيُّ فَهُوَ ضِدُّهُ أَيْ عَكْسُ مَا تَقَدَّمَ تَمَامًا.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Bukti Umum: adalah yang membuat pemiliknya tidak mampu merinci dan membantah keraguan serta sanggahan yang muncul terhadapnya. Contohnya: dia hanya menunjukkan keberadaan Allah melalui alam semesta ini, tanpa mengetahui cara pembuktiannya, apakah melalui kejadian (perubahan) atau kemungkinan terjadinya, atau keduanya sekali.

Sedangkan bukti rinci adalah kebalikannya sepenuhnya.

Ulasan: (Bukti umum: adalah yang membuat pemiliknya tidak mampu merinci dan membantah keraguan) ini adalah bukti umum yang membuat pemiliknya tidak mampu merinci dan membantah keraguan. Contohnya, seperti yang diceritakan oleh seorang Badui yang mengatakan bahwa jejak kaki (biser) menunjukkan adanya unta, seperti yang telah disebutkan. Ini tidak mengetahui cara pembuktian secara rinci, karena jika tidak ada pencipta untuk dunia ini, maka dunia ini tidak akan ada. Maka, adanya dunia ini menunjukkan adanya pencipta, yaitu Yang Maha Esa dan Pencipta, Subhanahu wa Ta’ala, karena asal dari segalanya adalah ketiadaan. Adanya sesuatu adalah baru. Maka ketiadaan dan keberadaan adalah seperti dua sisi neraca yang tidak dapat satu sisi lebih berat dari yang lain kecuali ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Dunia dan ketiadaannya juga seperti dua sisi neraca, tidak mungkin keberadaannya lebih berat dari ketiadaannya tanpa penyebab, yaitu adanya pencipta. Jika tidak, dunia ini akan tetap dalam ketiadaan. Sebab asalnya adalah ketiadaan, dan yang membuat dunia ini ada, yang bertentangan dengan asalnya, adalah adanya yang menciptakannya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa pun yang melihat langit dan apa yang ada di dalamnya dari keindahan ciptaan, serta melihat bumi dan apa yang ada di dalamnya dari keajaiban makhluk, serta melihat apa yang ada di antara keduanya dan tidak meyakini adanya pencipta, maka dia telah tertimpa kebodohan di dalam akalnya, dan dia telah dihimpit oleh kehampaan.

Sedangkan bukti rinci adalah kebalikannya dari yang telah disebutkan.

 

 

 

الْمُرَادُ بِالْمُقَلِّدِ فِي إِيمَانِهِ الإِنْسَانُ الْجَازِمُ الَّذِي لَوْ رَجَعَ مَنْ قَلَّدَهُ عَنْ اعْتِقَادِهِ لَمْ يَرْجِعْ هُوَ، أَمَّا مَنْ لَيْسَ كَذَلِكَ، فَلَا يُعْتَدُّ بِإِيمَانِهِ قَطْعًا

اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمُقَلِّدِ فِي إِيمَانِهِ، فَقَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ إِنَّهُ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ أَيْ أَنَّهُ كَافِرٌ، وَقِيلَ: مُؤْمِنٌ عَاصٍ إِنْ قَدَرَ عَلَى التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَلَا، وَقِيلَ مُؤْمِنٌ عَاصٍ وَقِيلَ: مُؤْمِنٌ غَيْرُ عَاصٍ مُطْلَقًا

قَوْلُهُ: الْمُرَادُ بِالْمُقَلِّدِ فِي إِيمَانِهِ الإِنْسَانُ الْجَازِمُ الَّذِي لَوْ رَجَعَ مَنْ قَلَّدَهُ عَنْ اعْتِقَادِهِ

التَّقْلِيدُ هُوَ الأَخْذُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ الدَّلِيلِ، وَيَجُوزُ فِي الْمَسَائِلِ الْفَرْعِيَّةِ الَّتِي سَبِيلُهَا الاجْتِهَادُ، أَمَّا الْمَسَائِلُ الْعَقِيدِيَّةُ فَلَا يَجُوزُ فِيهَا التَّقْلِيدُ كَمَا تَقَدَّمَ، وَإِيمَانُ الْمُقَلِّدِ اختلفوا فيه على أقوال كما سيأتي، وَالْقَوْلُ بِإِيمَانِ الْمُقَلِّدِ يَعْنِي أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَلَكِنْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ إِيمَانُهُ صَحِيحًا وَقَوِيًّا حَتَّى لَوْ رَجَعَ مُقَلِّدُهُ.. لَمْ يَرْجِعْ هُوَ، فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ عِندَهُ اعْتِقَادٌ جَازِمٌ فَلَا يَكْفِي مُجَرَّدَ التَّرَدُّدِ فَقَطْ، أَمَّا إِذَا كَانَ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ ذَٰلِكَ الْجَزْمُ فَلَا يُقْبَلُ إِيمَانُهُ لَأَنَّهُ لَيْسَ مُقَلِّدًا وَإِنَّمَا جَاهِلٌ

وَيُحْكَى أَنَّ الْحَبِيبَ أَحْمَدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ السُّقَافَ وَهُوَ أُسْتَاذٌ كَبِيرٌ كَانَ فِي إِنْدُونِيسِيَا وَلَهُ مَعَاهِدُ، فَجَاءَ إِلَيْهِ شَخْصٌ وَكَانَ نَصْرَانِيًّا وَأَسْلَمَ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ لِقِلَّةِ مَعْرِفَتِهِ بِهَا فَكَانَ الْحَبِيبُ أَحْمَدُ عِنْدَمَا يُعَلِّمُ الْعَرَبِيَّةَ كَانَ يَذْكُرُ شَيْئًا مِّنَ التَّرْهِيبَاتِ أَيِ الْمَخَوِّفَاتِ أَيْ يَتَخَلَّلُهَا فِي كَلَامِهِ، فَعَرَفَ هَذَا الشَّخْصُ مَرَادَ الْحَبِيبِ وَقَالَ: يَا حَبِيبَ إِلَيْكَ لِتُخَوِّفَنِي وَإِنَّمَا لِأَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ، أَتَظُنُّ أَنِّي سَأَرْجِعُ عَنْ إِيمَانِي وَإِسْلَامِي؟ وَاللَّهِ لَوْ كَفَرَ الْعَالَمُ كُلُّهُ لَنْ أَرْجِعَ؛ مَعْنَاهُ أَنَّهُ دَخَلَ الْإِسْلَامَ عَلَى بَصِيرَةٍ، مَا هُوَ مُجَرَّدُ تَقْلِيدٍ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Yang dimaksud dengan mueqlid (orang yang mengikuti tanpa dalil) dalam keimanannya adalah manusia yang yakin (jazzam) bahwa jika orang yang ia ikuti kembali dari keyakinannya, maka ia sendiri tidak akan kembali. Adapun orang yang tidak demikian, maka tidak dapat dianggap sebagai orang beriman, secara pasti.

Para ulama berbeda pendapat mengenai mueqlid dalam keimanannya. Sebagian ahli menegaskan bahwa dia bukanlah seorang mukmin, bahkan ia kafir. Ada yang mengatakan bahwa dia seorang mukmin yang durhaka jika mampu untuk belajar, jika tidak, maka tidak. Ada juga yang berpendapat bahwa dia seorang mukmin yang durhaka, dan ada juga yang berpendapat bahwa dia seorang mukmin yang tidak durhaka secara mutlak.

Ia berkata: "Yang dimaksud dengan mueqlid dalam keimanannya adalah manusia yang yakin bahwa jika orang yang ia ikuti kembali dari keyakinannya..." Taklid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, dan hal itu diperbolehkan dalam masalah-masalah cabang yang memerlukan ijtihad. Adapun dalam masalah-masalah akidah, tidak diperbolehkan untuk melakukan taklid, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Keimanan mueqlid berbeda pendapat di antara mereka, seperti yang akan dibahas. Pendapat yang mengatakan tentang keimanan mueqlid berarti bahwa dia seorang mukmin, tetapi harus ada ketentuan bahwa keimanannya sah dan kuat, sehingga jika orang yang ia ikuti kembali... maka ia sendiri tidak akan kembali. Oleh karena itu, ia harus memiliki keyakinan yang mantap, sehingga tidak cukup hanya dengan keragu-raguan. Namun jika ia tidak memiliki kepastian tersebut, maka keimanannya tidak diterima karena ia bukanlah mueqlid, melainkan hanya seorang yang jahil.

Diceritakan bahwa Habib Ahmad bin Abdullah As-Saqaf, seorang guru besar yang berada di Indonesia dan memiliki lembaga pendidikan, suatu ketika kedatangan seorang yang beragama Nasrani yang kemudian memeluk Islam. Ia ingin belajar bahasa Arab karena kurangnya pengetahuannya tentangnya. Ketika Habib Ahmad mengajarkan bahasa Arab, ia menyertakan beberapa hal yang menakutkan (terhebat) dalam ucapannya. Orang tersebut menyadari maksud Habib dan berkata: "Wahai Habib, janganlah kau menakut-nakutiku, karena aku hanya ingin belajar bahasa Arab. Apakah kau mengira bahwa aku akan kembali dari keimananku dan Islamku? Demi Allah, meskipun seluruh dunia kafir, aku tidak akan kembali!" Ini menunjukkan bahwa ia masuk Islam dengan pemahaman yang jelas, bukan hanya sekadar taklid.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

قَوْلُهُ: (حُكْمُ الْمُقَلِّدِ فِي إِيمَانِهِ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمُقَلِّدِ فِي إِيمَانِهِ الخ).

كَمَا قَالَ الْمُصَنِّفُ: حَصَلَ اِخْتِلَافٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي إِيمَانِ الْمُقَلِّدِ عَلَى أَقْوَالٍ (۱) قِيلَ: إِنَّ إِيمَانَ الْمُقَلِّدِ غَيْرُ صَحِيحٍ فَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الْكَافِرِ بِنَاءً عَلَى أَنْ النَّظَرَ فِي الْأَدِلَّةِ يُسْلَكُ بِهِ مَسْلَكَ الْأُصُولِ، وَهَذَا الْقَوْلُ لِبَعْضِ الْمُعْتَزِلَةِ. وَقِيلَ: إِنَّهُ مُؤْمِنٌ عَاصٍ مُطْلَقًا، وَهَذَا بِنَاءً عَلَى أَنْ النَّظَرَ فِي الْأَدِلَّةِ يُسْلَكُ بِهِ مَسْلَكَ الْفُرُوعِ. وَقِيلَ: إِنَّهُ مُؤْمِنٌ غَيْرُ عَاصٍ مُطْلَقًا: أَيْ: أَنَّ إِيمَانَهُ صَحِيحٌ مِنْ غَيْرِ إِثْمٍ، وَهَذَا بِنَاءً عَلَى أَنْ النَّظَرَ فِي الْأَدِلَّةِ يُسْلَكُ بِهِ مَسْلَكَ النَّدْبِ

وَالمُعْتَمَدُ فِيهِ تَفْصِيلٌ: إِن كَانَ فِيهِ أَهْلِيَّةٌ لِلنَّظَرِ فِي الْأَدِلَّةِ أَيْ: عِندَهُ ذَكاءٌ وَقُرَحَةٌ لَكِنَّهُ تَرَكَ النَّظَرَ فِي الْأَدِلَّةِ.. فَهَذَا يَصِحُّ إِيمَانُهُ مَعَ الإِثْمِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ عَاصٍ. وَإِن كَانَ لَيْسَ فِيهِ أَهْلِيَّةٌ لِلنَّظَرِ فِي الْأَدِلَّةِ.. فَهَذَا يَصِحُّ إِيمَانُهُ بِغَيْرِ إِثْمٍ.. كَمَا عَوَامُّ النَّاسِ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ غَيْرُ عَاصٍ، وَدَلِيلُ هَذَا الْقَوْلِ قَوِيٌّ لأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْبَلُ إِيمَانَ الْأَعْرَابِ وَالْعَوَامِّ وَلَمْ يُطَالِبْهُمْ بِدَلِيلٍ (۲) فِيْهِ أَرْبَعَةُ أَقْوَالٍ (۳).

 

Terjemahan:

Yang dimaksud dengan "Hukum mueqlid dalam keimanannya" adalah perbedaan pendapat di antara para ulama tentang keimanan mueqlid pada berbagai pendapat.

Sebagian mengatakan bahwa keimanan mueqlid tidak sah, sehingga hukumannya seperti hukum orang kafir, berdasarkan bahwa melihat kepada dalil-dalil diambil sebagai jalan pokok. Pendapat ini dipegang oleh sebagian orang dari kalangan Mu'tazilah. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang mukmin yang durhaka secara mutlak, berdasarkan bahwa melihat kepada dalil-dalil diambil sebagai cabang. Ada juga yang berpendapat bahwa dia adalah seorang mukmin yang tidak durhaka secara mutlak, yaitu bahwa keimanannya sah tanpa dosa, berdasarkan bahwa melihat kepada dalil-dalil diambil sebagai hal yang dianjurkan.

Pendapat yang dipegang adalah dengan perincian: jika dia memiliki kecakapan untuk melihat kepada dalil, yaitu memiliki kecerdasan dan bakat tetapi dia meninggalkan melihat kepada dalil... maka keimanannya sah meskipun disertai dosa, maka dia seorang mukmin yang durhaka. Dan jika dia tidak memiliki kemampuan untuk melihat kepada dalil... maka keimanannya sah tanpa dosa... seperti halnya orang awam, maka dia seorang mukmin yang tidak durhaka. Dan dalil pendapat ini kuat karena Rasulullah SAW menerima keimanan orang-orang Badui dan orang-orang awam tanpa meminta bukti. Dalam hal ini terdapat empat pendapat.

مَسائِلُ فَنِّ التَّوحِيدِ هي قَضاياهِ الباحِثَةُ فيهِ مِن حيثُ الواجبِ والجائِزِ والمُستَحيلِ. قَولُهُ: مَسائِلُ فَنِّ التَّوحِيدِ هي قَضاياهِ الباحِثَةُ فيهِ مِن حيثُ الواجبِ والجائِزِ والمُستَحيلِ).

سَيَأتِي الكلامُ في هذا مِن حيثُ الواجبُ في حقِّ اللهِ تعالى والجائِزُ كذلكَ والمُستَحيلُ والحُكمُ معناهُ إثباتُ أمرٍ لأمرٍ أو نَفْيُهُ عنهُ، مِثالُهُ قولُك: اللهُ قَديمٌ فأنتَ أثبَتَّ القِدَمَ للهِ تعالى، وقولُك: اللهُ ليسَ بحادِثٍ فأنتَ نَفَيْتَ الحُدوثَ عنهُ تعالى، أو العالمُ حادثٌ.. أثبَتَّ الحُدوثَ للعالَمِ، أو العالَمُ ليسَ بقديمٍ نَفَيْتَ القِدَمَ عنِ العالَمِ

والحُكمُ يَنقَسِمُ إلى ثلاثَةِ أقسامٍ: الحُكمُ الشَّرعِيُّ والحُكمُ العَقلِيُّ والحُكمُ العادِيُّ، وأهلُ التَّوحِيدِ كلامُهُم كُلُّهُ في الحُكمِ العَقلِيِّ ويُسَمَّى الحُكمَ المُطلَقَ. أمَّا الحُكمُ الشَّرعِيُّ: فهو ما يتَوَقَّفُ على حُكمِ الشَّارِعِ، وهو خِطابُ اللهِ المُتَعَلِّقُ بأفعالِ المُكَلَّفِينَ، ولهُ أقسامٌ وهيَ الأحكامُ الشَّرعِيَّةُ كما ذَكَرَها صاحبُ الزُّبَدِ مِن واجِبٍ ومَندُوبٍ ومُباحٍ ومَكروهٍ وحَرامٍ

وأمَّا الحُكمُ العادِيُّ: فهو ما كانَ بِواسِطَةِ العادَةِ والتَّكرارِ، مِثلَ: النارُ مُحرِقَةٌ، والسِّكِّينُ قاطِعٌ، والطَّعامُ مُشبِعٌ، والثَّلجُ بارِدٌ. فنحنُ عَرَفنا هذِهِ الأشياءَ بِالعادَةِ والتَّكرارِ

ويَجوزُ أن يَتَخَلَّفَ الحُكمُ العادِيُّ مِن غيرِ تأثيرٍ.. إمَّا مُعجِزَةً لِنَبِيٍّ أو كَرامَةً لِوَلِيٍّ أو مَعُونَةً لِمُؤمِنٍ أو استِدراجًا لِكافِرٍ، فالنَّارُ تُحرِقُ بِواسِطَةِ التَّكرارِ والعادَةِ وليسَ هذا حُكمًا واجِبًا، فيَجوزُ أن تَتَخَلَّفَ كما في قِصَّةِ سَيِّدِنا إبراهيمَ، فإنَّ النارَ لم تُحرِقْهُ لأنَّ اللهَ تعالى سَلَبَ منها الإحراقَ، وكذلكَ السِّكِّينُ يَقطَعُ بِواسِطَةِ التَّكرارِ والعادَةِ، ويَجوزُ أن يَتَخَلَّفَ، ولهذا نَبِيُّ اللهِ إبراهيمَ لم يَقطَعْ سِكِّينُهُ لَمّا أمَرَّهُ على حَلقِ وَلَدِهِ إسماعيلَ لأنَّ اللهَ تعالى سَلَبَ منهُ القَطعَ.

 

Terjemahan:

Masalah-masalah ilmu tauhid adalah persoalan-persoalan yang diteliti di dalamnya dari sisi yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil.

Beliau berkata: "Masalah-masalah ilmu tauhid adalah persoalan-persoalan yang diteliti di dalamnya dari sisi yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil."

Akan dijelaskan nanti tentang hal ini dari sisi kewajiban bagi Allah Ta'ala, hal yang mungkin bagi-Nya, dan yang mustahil. Hukum adalah menetapkan sesuatu bagi sesuatu atau menafikannya darinya. Contohnya, ketika Anda berkata: "Allah itu Qadim (Terdahulu)," Anda menetapkan sifat Qadim bagi Allah Ta'ala. Ketika Anda berkata: "Allah bukan baru," Anda menafikan kebaruan dari-Nya. Atau ketika Anda berkata: "Alam ini baru," Anda menetapkan kebaruan bagi alam. Atau ketika Anda berkata: "Alam bukan qadim," Anda menafikan sifat Qadim dari alam.

 

Hukum terbagi menjadi tiga bagian: hukum syar'i, hukum akli, dan hukum adat. Ahli tauhid seluruhnya berbicara dalam hukum akal yang disebut juga hukum mutlak. Adapun hukum syar'i, itu adalah yang bergantung pada ketetapan syariat, yakni seruan Allah yang terkait dengan perbuatan mukallaf, dan ia memiliki beberapa bagian yaitu hukum-hukum syariat yang disebutkan oleh pengarang "Zubad" seperti wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Sedangkan hukum adat adalah sesuatu yang terjadi berdasarkan kebiasaan dan pengulangan, seperti: api membakar, pisau memotong, makanan mengenyangkan, dan es dingin. Kita mengenal hal-hal ini melalui kebiasaan dan pengulangan.

Namun, hukum adat bisa saja tidak terjadi tanpa pengaruh yang jelas, baik itu sebagai mukjizat bagi nabi, karamah bagi wali, pertolongan bagi seorang mukmin, atau sebagai istidraj (tipuan) bagi orang kafir. Api membakar karena pengulangan dan kebiasaan, tetapi ini bukan hukum yang wajib sehingga boleh jadi tidak terjadi seperti dalam kisah Nabi Ibrahim, di mana api tidak membakarnya karena Allah Ta'ala mencabut sifat membakar dari api. Begitu pula pisau memotong karena pengulangan dan kebiasaan, namun bisa saja tidak memotong. Sebagaimana dalam kisah Nabi Ibrahim ketika pisau tidak memotong leher putranya Ismail karena Allah mencabut daya memotong dari pisau tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

وَالحُكْمُ الْعَقْلِيُّ هُوَ قَضِيَّةٌ مِنَ الْأَمْرِ لَا وَبَاسِطَةَ الْعَادَةِ وَلَا التَّكْرَارِ وَلَا يُجَوِّزُ أَنْ يَتَخَلَّفَ، وَالْوَاجِبُ الْعَقْلِيُّ هُوَ الَّذِي لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ، وَالْمُسْتَحِيلُ: هُوَ الَّذِي لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُودُهُ، وَالْجَائِزُ: هُوَ مَا يُتَصَوَّرُ وُجُودُهُ تَارَةً وَعَدَمُهُ تَارَةً أُخْرَى، فَالحُكْمُ الْعَقْلِيُّ لَا يُجَوِّزُ أَنْ يَتَخَلَّفَ، كَمَا الشَّيْءِ، أَيُّ شَيْءٍ كَانَ فَهُوَ إِمَّا مُتَحَرِّكٌ أَوْ سَاكِنٌ فَهَلْ يُتَصَوَّرُ أَنَّ هُنَاكَ شَيْءً لَا هُوَ مُتَحَرِّكٌ وَلَا سَاكِنٌ؟ لَا، وَكَمَا الْعَالَمُ حَادِثٌ، فَلَا يَتَخَلَّفُ ذَلِكَ وَلَا يُتَصَوَّرُ أَنَّهُ قَدِيمٌ، وَكَذَٰلِكَ اللّٰهُ قَدِيمٌ لَا يُتَصَوَّرُ غَيْرُ ذَلِكَ.

 

Terjemahan:

Hukum akal adalah suatu pernyataan dari perkara yang tidak bergantung pada kebiasaan atau pengulangan dan tidak boleh terpisah. Sedangkan yang wajib secara akal adalah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan ketidakadaannya dalam akal. Yang mustahil adalah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan keberadaannya dalam akal. Yang mungkin adalah sesuatu yang bisa dibayangkan keberadaannya terkadang dan ketidakadaannya terkadang lain. Hukum akal tidak boleh terpisah, seperti halnya sesuatu, apapun itu, pasti bergerak atau diam. Apakah mungkin ada sesuatu yang tidak bergerak dan tidak diam? Tidak. Begitu pula dunia ini adalah baru, tidak mungkin ada anggapan bahwa ia adalah kuno. Demikian pula Allah adalah yang kuno, tidak dapat dibayangkan sebaliknya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

الدَّرسُ الثَّاني

في تَفسيرِ ألفاظٍ كثيرًا ما تَتَكَرَّرُ في هذا الفَنِّ: العالَم - بِفَتحِ اللَّامِ - هو ما سوى اللهِ مِن أرضٍ وسماءٍ ونُجومٍ وغيرِ ذلكَ مِن بَقيَّةِ المَخلوقاتِ

والجَوْهَرُ هو كُلُّ ما يقومُ بِنَفسِهِ ويُسَمَّى الجِسْمَ والجِرمَ، كالجِبالِ والحَيوانِ والشَّجَرِ

قَولُهُ: (العالَم: بِفَتحِ اللَّامِ هو ما سوى اللهِ مِن أرضٍ وسماءٍ ونُجومٍ وغيرِ ذلكَ الخ)

العالَمُ بِفَتحِ اللَّامِ: هو كُلُّ ما سوى اللهِ تعالى وصِفَاتِهِ، فَيَشمَلُ جميعَ ما خَلَقَهُ اللهُ تعالى سواءً كانَ مِن بَني آدمَ أو جِنٍّ أو شَياطِين أو نارٍ أو حَيوانٍ أو نَباتاتٍ أو جَماداتٍ، فَيَشمَلُ هذا كُلُّهُ، والعالَمُ هذا حادِثٌ بِمعنى أنَّهُ وُجِدَ بعدَ أن لَم يَكُن أي: كانَ غيرَ مَوجودٍ ثُمَّ وُجِدَ، وهذا مَعنى العالَمِ حادِثٌ. قالَ تعالى: ﴿ هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذكورًا ﴾ [الإنسان: ١] أي: ثُمَّ كانَ؛

والعالَمُ كُلُّهُ مُركَّبٌ مِن شَيئَينِ كما سيَأتِي.. جَوهَرٍ وعَرَضٍ (١)، وأمَّا العالَمِين فإنَّهُ بِالعُقلاءِ مِن إنسٍ وجِنٍّ ومَلائِكَةٍ، فالعالَمُ أعمُّ مِن العالَمِين لأنَّهُ يَشمَلُ العُقلاءَ وغيرَ العُقلاءِ

قَولُهُ: (الجَوهر: هو كُلُّ ما يقومُ بِنفسِهِ الخ)

الجَوهرُ يُسَمَّى ذاتًا أيضًا ويُسَمَّى جِسمًا ويُسَمَّى جِرمًا، وهو الذي يَقومُ بِنفسِهِ كالإِنسانِ والحَيوانِ والجَبَلِ ونحوِ ذلكَ، فكُلُّ ما يقومُ بِنفسِهِ يُسَمَّى جَوهَرًا أي جِرمًا.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Pelajaran Kedua

Dalam penjelasan istilah-istilah yang sering diulang dalam ilmu ini:

Alam (dengan lam yang difathah) adalah segala sesuatu selain Allah, seperti bumi, langit, bintang-bintang, dan lainnya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya.

Jawhar (substansi) adalah segala sesuatu yang berdiri sendiri, dan disebut juga sebagai jism (benda) atau jirm (badan), seperti gunung, hewan, dan pohon.

Penjelasan dari perkataannya:

Alam (dengan lam yang difathah) adalah segala sesuatu selain Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya. Ini mencakup semua yang diciptakan oleh Allah Ta'ala, baik dari kalangan manusia, jin, setan, api, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda mati. Jadi, semua ini termasuk dalam kategori alam. Alam ini bersifat baru (hadits), dalam arti bahwa ia ada setelah sebelumnya tidak ada, yakni sebelumnya tidak ada lalu menjadi ada. Ini adalah makna alam yang hadits (baru). Allah Ta'ala berfirman: "Apakah telah datang atas manusia suatu waktu dari masa, ketika dia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (Al-Insan: 1), yaitu kemudian ia menjadi ada.

Alam seluruhnya terdiri dari dua elemen, yaitu jawhar (substansi) dan 'aradh (aksiden), sebagaimana akan dijelaskan. Adapun istilah 'alamin (alam semesta) digunakan untuk makhluk-makhluk berakal seperti manusia, jin, dan malaikat. Dengan demikian, kata alam lebih umum daripada 'alamin karena mencakup makhluk berakal dan tidak berakal.

Penjelasan dari perkataannya:

Jawhar adalah segala sesuatu yang berdiri sendiri dan disebut juga sebagai zat, jism, atau jirm. Contohnya adalah manusia, hewan, gunung, dan yang semisalnya. Maka, segala sesuatu yang berdiri sendiri disebut sebagai jawhar atau jirm.

 

 

 

العَرَض: بفتح الرَّاءِ ضِدُّ الجَوهرِ، وهو ما لا يقومُ بِنفسِهِ، كالحَرَكةِ والسُّكونِ والسَّوادِ والبَياضِ

قَولُهُ: (العَرَض: - بفتحِ الرَّاءِ ضِدُّ الجَوهرِ الخ)

أي: وأمّا العَرَضُ فهُو مَعنًى مِنَ المَعاني، فهذا لا يقومُ بِنفسِهِ، وإنّما يقومُ بِغيرِهِ، وهو يَدُلُّ على حُدوثِ التَّغَيُّرِ كَاللَّونِ الأحمَرِ أو الأخضَرِ مثلاً. فلا يقومُ بِنفسِهِ بِمعنَى أنَّهُ لا بُدَّ أن يكونَ هناكَ شَيءٌ غيرُهُ يُوصَفُ بأنَّهُ أحمَرُ أو أخضَرُ، فلا يقومُ هو بِنفسِهِ وإنَّما يقومُ بِغيرِهِ، وهو صِفَةٌ كالعِلمِ مثلاً، فإنَّهُ لا يقومُ بِنفسِهِ بل لا بُدَّ أن يكونَ شَخصٌ عالِمًا

والحَرَكةُ والسُّكونُ عَرَضٌ، فهل يُتَصَوَّرُ قِيامُ الحَرَكَةِ بِنفسِها أو السُّكونِ بِنفسِهِ؟ لا، وإنَّما يكونُ الشَّيءُ مُتحَرِّكًا أو ساكِنًا. فالذي يقومُ بِنفسِهِ يُسَمَّى جَوهرًا أي جِرمًا، والذي لا يقومُ إلَّا بِغيرِهِ يُسَمَّى عَرَضًا. فالعالَمُ مُركَّبٌ مِن هَذينِ الشَّيئينِ

ولمّا قُلنا العالَمُ حادِثٌ، ما الدَّليلُ على حُدوثِهِ؟ الجَوابُ: لأنَّهُ مُركَّبٌ مِن جَوهرٍ ومِن عَرَضٍ، والعَرَضُ مُتَغَيِّرٌ بالمُشاهَدةِ. فالشَّيءُ إذا كانَ ساكِنًا وتَحرَّكَ فالحَرَكةُ حادِثةٌ، والشَّيءُ إذا كانَ مُتحَرِّكًا ثُمَّ سَكَنَ فالسُّكونُ حادِثٌ، والصَّغيرُ إذا كَبُرَ وعَكسُهُ، فهذِه كُلُّها أشياءٌ حادِثةٌ. فالأعراضُ مُتَحَرِّكةٌ بالمُشاهَدةِ، وأمّا الأجرامُ كالجِبالِ وغيرِ ذلكَ لم تَرَها مُتحَرِّكَةً إلّا حينما قامَتِ الأعراضُ بِها مِن حيثُ لَونِها وقُبولِ حَرَكتِها بآلاتِ التَّكسِيرِ، فهي تَقبَلُ الحَرَكةَ. قالَ تعالى: ﴿ فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا ﴾ [الأعراف: ١٤٣]. وبِما أنَّ الأعراضَ مُلازِمةٌ للأجرامِ، فهي حادِثةٌ لأنَّ ما لازَمَ الحادِثَ فهو حادِثٌ، فيَنتُجُ عن ذلكَ أنَّ العالَمَ حادِثٌ، ولا هُناكَ شَيءٌ قَديمٌ إلّا اللهُ تعالى وصِفاتُهُ، بالإِضافةِ إلى أنَّ الأصلَ في الأشياءِ كُلِّها العَدَمُ، فلا بُدَّ لِترجيحِ وُجودِ العالَمِ على عَدَمِهِ مِن مُرَجِّحٍ، وإلّا لَكانَ العالَمُ في حَيِّزِ العَدَمِ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Aksiden (al-'aradh) dengan fathah pada huruf ra' adalah lawan dari substansi (al-jawhar), yaitu sesuatu yang tidak berdiri sendiri, seperti gerakan, diam, hitam, dan putih.

Penjelasan dari perkataannya:

Aksiden adalah salah satu makna (sifat) yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi bergantung pada selainnya. Ia menunjukkan adanya perubahan, seperti warna merah atau hijau. Sebagai contoh, warna merah tidak berdiri sendiri, melainkan memerlukan sesuatu yang diberi sifat merah atau hijau. Oleh karena itu, ia tidak berdiri sendiri, tetapi berdiri pada sesuatu yang lain. Ini merupakan sifat, seperti ilmu misalnya. Ilmu juga tidak berdiri sendiri, tetapi membutuhkan seseorang yang memiliki ilmu.

Gerakan dan diam adalah aksiden. Apakah bisa dibayangkan bahwa gerakan berdiri sendiri atau diam berdiri sendiri? Tidak mungkin. Tetapi, sesuatu itu bisa bergerak atau diam. Jadi, apa yang berdiri sendiri disebut substansi (jawhar) atau benda (jirm), sedangkan yang hanya bergantung pada selainnya disebut aksiden (aradh). Oleh karena itu, alam terdiri dari dua elemen ini.

Ketika kita mengatakan bahwa alam ini baru (hadits), apa buktinya? Buktinya adalah karena ia tersusun dari jawhar dan aradh. Aradh bersifat berubah-ubah, sebagaimana yang kita saksikan. Ketika sesuatu dalam keadaan diam lalu bergerak, maka gerakan itu adalah sesuatu yang baru. Ketika sesuatu dalam keadaan bergerak lalu diam, maka diamnya adalah sesuatu yang baru. Begitu juga, ketika seorang anak kecil tumbuh besar, itu adalah perubahan. Semua ini adalah bukti bahwa aradh (aksiden) bersifat baru. Sedangkan jirm-jirm (benda-benda) seperti gunung dan lainnya tidak tampak berubah, kecuali ketika terdapat aradh yang mempengaruhi mereka, seperti perubahan warna atau ketika menerima gerakan oleh alat-alat penghancur. Mereka mampu bergerak. Allah Ta'ala berfirman: "Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung, Dia menjadikannya hancur lebur dan Musa jatuh pingsan" (Al-A'raf: 143).

Karena aksiden selalu melekat pada jirm, maka aksiden bersifat baru. Dan apa pun yang melekat pada sesuatu yang baru, ia juga baru. Dengan demikian, alam ini adalah sesuatu yang baru, dan tidak ada sesuatu yang qadim (tidak bermula) kecuali Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu itu asalnya adalah tidak ada (tiada), sehingga keberadaan alam ini membutuhkan sesuatu yang menyebabkan keberadaannya. Tanpa itu, alam ini akan tetap dalam ketiadaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

الْعَدَمُ وَالَّذِي رَجَّحَ وُجُودَهُ عَلَى عَدَمِهِ.. هُوَ وُجُودُ الْخَالِقِ جَلَّ وَعَلا، فَالْعَالَمُ إِذًا حَادِثٌ قَالَ تَعَالَى: ﴿ أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ ﴾ (الطور: ٣٥)، وَالْفَلاسِفَةُ كَفَرُوا بِثَلاثَةِ أَشْيَاءَ بِقَوْلِهِمْ: أَنَّ الْعَالَمَ قَدِيمٌ، وَبِقَوْلِهِمْ: أَنَّ الْأَجْسَادَ لَا تُحْشَرُ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَبِقَوْلِهِمْ: أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلا لَا يَعْلَمُ بِالْجُزْئِيَّاتِ، وَنَظَمَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ:

 

بِثَلاثَةٍ كَفَرَ الْفَلاسِفَةُ الْعَدَى  ** إِذْ أَنْكَرُوهَا وَهِيَ حَقٌّ مُثْبَتَةٌ

عِلْمٌ بِجُزْئِيٍّ، حُدُوثُ عَالَمٍ  ** حَشْرٌ لِأَجْسَادٍ وَكَانَتْ مَيِّتَةً

 

Terjemahan:

**Ketiadaan dan yang lebih mengutamakan keberadaannya atas ketiadaan adalah keberadaan Sang Pencipta, Allah Yang Maha Tinggi. Maka, dunia ini adalah baru. Allah berfirman: "Atau mereka diciptakan tanpa sesuatu, ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?" (QS. At-Tur: 35). Para filsuf telah kafir dengan tiga hal, yaitu mereka mengklaim bahwa dunia ini adalah kuno, mereka mengklaim bahwa tubuh tidak dibangkitkan setelah mati, dan mereka mengklaim bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara yang rinci. Salah seorang dari mereka merangkum hal ini dalam syairnya:

"Para filsuf kafir dengan tiga hal,

Karena mereka mengingkarinya, padahal itu adalah kebenaran yang pasti.

Ilmu tentang yang rinci, dunia yang baru,

Kebangkitan bagi tubuh yang telah mati."**

 

 

 

 

 

 

الْحَالُ: هُوَ صِفَةٌ بَيْنَ الْمَوْجُودِ وَالْمَعْدُومِ، بِمَعْنَى أَنَّهَا لَمْ تَرْتَقِ إِلَى دَرَجَةِ الْمَوْجُودِ، فَتُشَاهَدُ وَلَمْ تَنْحَطَّ إِلَى دَرَجَةِ الْمَعْدُومِ فَتَنْعَدِمَ، وَإِنَّمَا هِيَ وَاسِطَةٌ بَيْنَهُمَا، كَالْوُجُودِ هَذَا، وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يُنْكِرُهُ وَيَقُولُ: لَا وَاسِطَةَ بَيْنَ الْمَوْجُودِ وَالْمَعْدُومِ، وَالْحَالُ مَحَلُّ الْحَادِثِ هُوَ الْمَوْجُودُ بَعْدَ عَدَمٍ، وَذَلِكَ كُلُّ مَا سِوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَصِفَاتِهِ. قَوْلُهُ: (الْحَالُ: هُوَ صِفَةٌ بَيْنَ الْمَوْجُودِ الخ). حَصَلَ خِلَافٌ هَلْ هُنَاكَ وَاسِطَةٌ بَيْنَ الْمَوْجُودِ وَالْمَعْدُومِ؟ فَمَن قَالَ أَنَّ الشَّيْءَ إِمَّا مَوْجُودٌ أَوْ مَعْدُومٌ وَلَا تُوجَدُ صِفَةٌ ثَالِثَةٌ: أَيْ نَفَى الْحَالَ، وَقَالَ: الْحَالُ مَحَلٌّ.. لَمْ يَذْكُرِ الصِّفَاتِ الْمَعْنَوِيَّةَ.. وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَى الْخِلَافِ: أَيْ كَوْنِهِ تَعَالَى قَادِرًا وَكَوْنِهِ عَلِيمًا وَكَوْنِهِ كَذَا وَكَوْنِهِ كَذَا، وَاسْتَغْنَى عَنْهَا بِصِفَاتِ الْمَعَانِي، وَمَن قَالَ بِوُجُودِ وَاسِطَةٍ بَيْنَهُمَا أَيْ أَثْبَتَ الْحَالَ.. ذَكَرَ الصِّفَاتِ الْمَعْنَوِيَّةَ، وَلَمْ يَسْتَغْنِ عَنْهَا بِصِفَاتِ الْمَعَانِي، وَهَذَا الْخِلَافُ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنفُسِهِمْ، أَمَّا الْمُعْتَزِلَةُ فَقَدْ نَفَوْا صِفَاتِ الْمَعَانِي نَفْسَهَا كَمَا سَيَأْتِي حَالًا بِإِذْنِ اللَّهِ، فَالْحَالُ صِفَةٌ وَسَط بَيْنَ الْمَوْجُودِ وَالْمَعْدُومِ، بِمَعْنَى أَنَّهَا لَمْ تَرْتَقِ إِلَى دَرَجَةِ الْمَوْجُودِ فَتُشَاهَدُ وَلَمْ تَنْزِلْ إِلَى دَرَجَةِ الْمَعْدُومِ فَتَنْعَدِمَ، وَالْتَّحْقِيقُ أَنَّهُ لَا وَاسِطَةَ بَيْنَهُمَا

قَوْلُهُ: (الْحَادِثُ هُوَ الْمَوْجُودُ بَعْدَ عَدَمٍ الخ). كُلُّ شَيْءٍ وُجِدَ بَعْدَ عَدَمٍ.. تَعَالَى قَدِيمٌ، وَالْقِدَمُ: هُوَ سَلْبُ الْعَدَمِ السَّابِقِ لِلْوُجُودِ، وَالْبَقَاءُ: هُوَ سَلْبُ الْعَدَمِ اللَّاحِقِ لِلْوُجُودِ، فَلَا شَيْءَ قَدِيمٌ إِلَّا ذَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتُهُ فَقَطُ، وَكُلُّ مَا سِوَى اللَّهِ تَعَالَى حَادِثٌ، أَيْ: أَوْجَدَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْعَدَمِ بِقُدْرَتِهِ وَإِرَادَتِهِ إِلَى الْوُجُودِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ هَلْ أَتى عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا ﴾ [الإنسان: 1] أَيْ: ثُمَّ كَانَ، وَلَيْسَ الْإِنْسَانُ فَقَط بَلِ الْعَالَمُ كُلُّهُ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

**Haal adalah sifat yang berada di antara ada dan tiada, yaitu tidak mencapai derajat ada sehingga terlihat dan tidak pula jatuh ke derajat tiada sehingga hilang. Haal adalah perantara antara keduanya, seperti keberadaan ini. Sebagian ulama mengingkarinya dan mengatakan bahwa tidak ada perantara antara yang ada dan yang tiada, dan haal adalah hal yang terjadi. Hal yang terjadi adalah yang ada setelah ketiadaan, yaitu semua yang selain Allah Yang Maha Agung dan sifat-sifat-Nya. Pernyataan bahwa haal adalah sifat antara ada dan tiada menunjukkan adanya perdebatan mengenai apakah ada perantara antara yang ada dan yang tiada. Mereka yang mengatakan bahwa sesuatu itu ada atau tiada dan tidak ada sifat ketiga menafikan haal dan mengklaim bahwa haal adalah hal yang terjadi. Mereka tidak menyebutkan sifat-sifat yang bermakna. Hal ini berhubungan dengan perdebatan mengenai sifat-sifat Allah seperti kemampuan, pengetahuan, dan lainnya. Mereka yang mengakui adanya perantara antara keduanya atau menegaskan haal menyebutkan sifat-sifat yang bermakna, dan tidak menganggapnya tidak perlu.

Perdebatan ini terjadi di antara Ahlus Sunnah sendiri, sementara para Mu'tazilah telah menafikan sifat-sifat yang bermakna itu sendiri. Hal itu akan dibahas lebih lanjut nanti, insya Allah. Haal adalah sifat yang berada di antara ada dan tiada, yaitu tidak mencapai derajat ada sehingga terlihat dan tidak pula jatuh ke derajat tiada sehingga hilang. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada perantara antara keduanya.

Selanjutnya, apa yang terjadi setelah ketiadaan adalah yang ada. Tiada sesuatu yang abadi kecuali zat Allah dan sifat-Nya. Segala sesuatu yang selain-Nya adalah baru, artinya Allah menciptakan dari ketiadaan dengan kehendak dan kekuatan-Nya. Allah berfirman: “Apakah telah datang kepada manusia waktu yang tidak berarti, di mana dia tidak menjadi sesuatu yang disebut?” (QS. Al-Insan: 1). Artinya, kemudian ada, dan bukan hanya manusia tetapi seluruh alam.**

 

 

 

 

الْقَدِيمُ: هُوَ مَا لَا أَوَّلَ لَهُ، وَبِعَبَارَةٍ أُخْرَى، مَا لَيْسَ لِوُجُودِهِ اِفْتِتَاحٌ.

تَمَامًا، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بَعْضُهُمْ فَجَعَلَ الْقَدِيمَ بِمَعْنَى الْمَوْجُودِ الَّذِي لَا أَوَّلَ لَهُ فَلَا تَدْخُلُ فِيهِ الْأَحْوَالُ وَلَا الْمَعْدُومَاتُ، وَجَعَلَ الْأَزَلِيَّ وَالْأَزَلِيَّ فَسَّرَهُ بَعْضُهُمْ بِمَعْنَى الْقَدِيمِ: بِمَعْنَى الشَّيْءِ لَا الَّذِي لَا أَوَّلَ لَهُ سَوَاءً أَكَانَ مَوْجُودًا أَمْ لَا؛ فَتَدْخُلُ فِيهِ الْأَحْوَالُ وَالْمَعْدُومَاتُ، فَهُوَ أَعَمُّ مِنَ الْقَدِيمِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ وَهُمَا مُشْتَقَّانِ مِنَ الْقِدْمِ وَالْأَزَلِ.

قَوْلُهُ: (الْقَدِيمُ وَالْأَزَلِيُّ وَالْخِلَافُ فِي الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا الخ). مِمَّا يَتَكَرَّرُ ذِكْرُهُ فِي عِلْمِ التَّوحيد وَصِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْقَدِيمِ وَالْأَزَلِيِّ، فَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: الْقَدِيمُ، وَالْبَعْضُ يَقُولُ: الْأَزَلِيُّ، فَهَلْ هُنَاكَ فَرْقٌ بَيْنَ الْقَدِيمِ وَالْأَزَلِيِّ؟ كَمَا يُقَالُ: السَّابِقُ فِي عِلْمِهِ الْقَدِيمُ أَوْ السَّابِقُ فِي عِلْمِهِ الْأَزَلِيِّ؟ بَعْضُهُمْ يَقُولُ: لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا وَأَنَّ الْقَدِيمَ وَالْأَزَلِيَّ شَيْءٌ وَاحِدٌ، بِمَعْنَى أَنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ، وَبَعْضُهُمْ ذَكَرَ فَرْقًا بَيْنَهُمَا وَهُوَ فَرْقٌ دَقِيقٌ، فَجَعَلَ الْقَدِيمَ بِمَعْنَى الْمَوْجُودِ الَّذِي لَا أَوَّلَ لَهُ فَلَا يُطْلَقُ عَلَى الْمَعْدُومِ وَلَا عَلَى الْحَالِ، وَالْحَالُ كَمَا تَقَدَّمَ صِفَةٌ وَسَط بَيْنَ الْمَوْجُودِ وَالْمَعْدُومِ.

وَجَعَلَ الْأَزَلِيَّ بِمَعْنَى الَّذِي لَا أَوَّلَ لَهُ سَوَاءً أَكَانَ مَوْجُودًا أَمْ لَا، فَيَكُونُ أَعْمَّ مِنَ الْقَدِيمِ بِاعتِبَارِ هَذَا الْفَرْقِ، وَتَدْخُلُ فِيهِ الْأَحْوَالُ وَالْمَعْدُومَاتُ، فَكِلَاهُمَا مُتَقَارِبَانِ فِي الْحَقِيقَةِ، وَالْقَدِيمُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْقِدَمِ، وَالْأَزَلِيُّ مُشْتَقٌّ مِنَ الأَزَلِ.

وَالْأَزَلُ: هُوَ الْعِلْمُ الْقَدِيمُ الَّذِي لَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ وَلَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ﴾ [الرعد: 39]، وَبَعْضُهُمْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي تَعْرِيفِ الْقُدْرَةِ حَيْثُ قَالَ: هِيَ صِفَةٌ قَدِيمَةٌ أَزَلِيَّةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى وَهَكَذَا بَقِيَّةُ الصِّفَاتِ، وَالْقَدِيمُ كَمَا قَالَ الْمُصَنِّفُ: مَا لَا أَوَّلَ لَهُ، أَيْ لَا ابْتِدَاءَ لِأُولِيَّتِهِ، وَإِن شِئْتَ قُلْتَ: هُوَ الَّذِي لَيْسَ قَبْلَهُ شَيْءٌ، وَإِن شِئْتَ قُلْتَ: مَا لَيْسَ لِوُجُودِهِ اِفْتِتَاحٌ، فَهَذَا مَعْنَى الْقَدِيمِ، وَكُلُّهَا مَعَانٍ مُتَقَارِبَةٌ، وَالْقِدَمُ: هُوَ سَلْبُ الْعَدَمِ السَّابِقِ لِلْوُجُودِ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

**Kuno adalah apa yang tidak memiliki awal, atau dengan kata lain, sesuatu yang tidak ada permulaannya. Beberapa orang membedakan antara kuno dan abadi, menjelaskan kuno sebagai sesuatu yang ada dan tidak memiliki awal, sehingga tidak mencakup keadaan dan yang tiada. Sedangkan abadi, menurut sebagian, berarti tidak memiliki awal, baik itu ada maupun tidak; dengan demikian, ia mencakup keadaan dan yang tiada. Dalam pengertian ini, abadi lebih umum daripada kuno, dan keduanya berasal dari kata kuno dan abadi.

Kata "kuno" dan "abadi" sering disebut dalam ilmu teologi, di mana sebagian orang menyebutnya kuno dan sebagian lainnya menyebutnya abadi. Apakah ada perbedaan antara keduanya? Seperti ketika dikatakan, "yang mendahului dalam ilmunya adalah kuno" atau "yang mendahului dalam ilmunya adalah abadi?" Sebagian orang mengatakan tidak ada perbedaan antara keduanya, dan bahwa kuno dan abadi adalah satu dan sama, yaitu sinonim. Namun, sebagian lainnya menunjukkan perbedaan yang halus, yaitu kuno berarti sesuatu yang ada dan tidak memiliki awal, sehingga tidak dapat diterapkan pada yang tiada atau keadaan, sementara keadaan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah sifat di antara yang ada dan yang tiada.

Mereka yang mengartikan abadi sebagai sesuatu yang tidak memiliki awal, baik ada maupun tidak, membuatnya lebih umum daripada kuno. Oleh karena itu, keduanya memiliki kesamaan dalam hakikat, di mana kuno berasal dari kata kuno dan abadi berasal dari kata abadi.

Abadi berarti ilmu yang kuno yang tidak berubah, tidak bergeser, tidak bertambah, dan tidak berkurang. Allah berfirman: “Dan di sisi-Nya adalah induk kitab” (QS. Ar-Ra’d: 39). Beberapa orang menggabungkan keduanya dalam definisi kekuasaan, dengan mengatakan: “Kekuasaan adalah sifat yang kuno dan abadi yang berdiri dalam zat-Nya.” Demikian pula sifat-sifat lainnya. Kuno, seperti yang dikatakan oleh penulis, adalah sesuatu yang tidak memiliki awal, yaitu tidak ada permulaan untuk keberadaannya. Jika Anda mau, Anda bisa mengatakan: “Itu adalah sesuatu yang tidak ada sebelum-Nya.” Jika Anda mau, Anda juga bisa mengatakan: “Itu adalah sesuatu yang tidak ada pembuka untuk keberadaannya.” Ini adalah arti dari kuno, dan semuanya adalah pengertian yang saling mendekati. Kuno adalah penolakan terhadap ketiadaan yang terjadi sebelum ada.**

النَّقِيضَانِ هُمَا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ وَلَا يَرْتَفِعَانِ كَالْوُجُودِ وَالْعَدَمِ، وَالْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، وَالْقِدَمِ وَالْحَدَاثَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ

وَالضِّدَّانِ: هُمَا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ وَقَدْ يَرْتَفِعَانِ كَالسَّوَادِ وَالْبِيَاضِ، وَكَثِيرًا مَا يُرِيدُونَ بِالضِّدِّ مُطْلَقَ الْمُنَافِي

قَوْلُهُ: (النَّقِيضَانِ هُمَا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ الخ). عِندَهُمْ نَقِيضَانِ وَضِدَّانِ، فَيُقَالُ نَقِيضُهُ وَضِدُّهُ، وَهَلْ هُنَاكَ فَرْقٌ بَيْنَهُمَا؟ نَعَمْ هُنَاكَ فَرْقٌ، فَالنَّقِيضَانِ كَمَا قَالَ الْمُصَنِّفُ: هُمَا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ وَلَا يَرْتَفِعَانِ، فَيَكُونَانِ أَشَدَّ مِنَ الضِّدَّينِ لأَنَّهُمَا لَا يَجْتَمِعَانِ، كَالْوُجُودِ وَالْعَدَمِ، فَالشَّيْءُ إِمَّا مَوْجُودٌ أَوْ مَعْدُومٌ، وَكَالحَرَكَةِ وَالسُّكُونِ، إِمَّا مُتَحَرِّكٌ أَوْ سَاكِنٌ، وَكَالحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، إِمَّا حَيَاةٌ أَوْ مَوْتٌ، وَهَلْ يَرْتَفِعَانِ؟ لَا، أَيْ لَيْسَ هُنَاكَ قِسْمٌ ثَالِثٌ حَتَّى يَرْتَفِعَانِ بِهِ، فَهَذَا مَعْنَى النَّقِيضَيْنِ

قَوْلُهُ: (وَالضِّدَّانِ هُمَا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ وَقَدْ يَرْتَفِعَانِ الخ). أَيْ أَمَّا الضِّدَّانِ فَيُوَافِقَانِ النَّقِيضَيْنِ فِي أَنَّهُمَا لَا يَجْتَمِعَانِ، وَلَكِنَّهُمَا يَرْتَفِعَانِ كَالسَّوَادِ وَالْبِيَاضِ، فَهُمَا ضِدَّانِ لَا يُمْكِنُ اجْتِمَاعُهُمَا وَلَكِنَّهُمَا يَرْتَفِعَانِ بِشَيْءٍ ثَالِثٍ، لِأَنَّ خَلْطَهُمَا يُؤَدِّي إِلَى صِفَةٍ أُخْرَى تَرْفَعُهَا، إِمَّا أَحْمَرَ أَوْ أَخْضَرَ، وَالْقِيَامُ وَالْقُعُودُ ضِدَّانِ قَدْ يَرْتَفِعَانِ بِالرُّكُوعِ أَوِ الِاضْطِجَاعِ. فَالْمَقْصُودُ إِذا كَانَا يَرْتَفِعَانِ فَهُمَا ضِدَّانِ، وَإِلَّا فَهُمَا نَقِيضَانِ. أَمَّا الاجْتِمَاعُ فَكُلُّ مِنَ النَّقِيضَيْنِ وَالضِّدَّيْنِ لَا يَجْتَمِعَانِ، وَكَثِيرًا مَا يُرِيدُونَ بِالضِّدِّ مُطْلَقَ الْمُنَافِي، فَيَشْمَلُ حَتَّى النَّقِيضَ، فَيُطْلِقُونَ أَحَدَهُمَا عَلَى الْآخَرِ

وَإِذَا كَانَ رَجُلٌ قَالَ لِزَوْجَتِهِ وَفِي فَمِهَا حَبَّةُ رُمَّانَةٍ: إِنِ ابْتَلَعْتِهَا فَأَنْتِ طَالِقَةٌ، وَإِنِ لَفَظْتِيهَا فَأَنْتِ طَالِقَةٌ، فَكَيْفَ تَتَخَلَّصِينَ مِنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ؟ قَالُوا: تَأْكُلُ نِصْفَهَا أَوْ بَعْضَهَا وَتَلْفُظُ الْبَاقِي، وَحِينََئِذٍ لَا تَطْلُقُ.

 

Terjemahan:

**Nukleus adalah dua hal yang tidak dapat bersatu dan tidak dapat hilang, seperti keberadaan dan ketiadaan, kehidupan dan kematian, keabadian dan keterbatasan, dan sebagainya. Sedangkan dua lawan adalah dua hal yang tidak dapat bersatu tetapi dapat hilang, seperti warna hitam dan putih, dan seringkali mereka mengartikan lawan sebagai segala yang bertentangan.

Kata "nukleus" merujuk pada dua hal yang tidak dapat bersatu dan tidak dapat hilang. Dengan kata lain, nukleus lebih kuat daripada dua lawan, karena mereka tidak dapat bersatu, seperti keberadaan dan ketiadaan; sesuatu itu ada atau tidak ada. Begitu juga dengan gerakan dan ketenangan; sesuatu itu bergerak atau diam, serta kehidupan dan kematian; sesuatu itu hidup atau mati. Apakah keduanya bisa hilang? Tidak, artinya tidak ada kategori ketiga yang bisa menghilangkan keduanya. Itulah pengertian dari nukleus.

 

Sedangkan dua lawan adalah dua hal yang tidak dapat bersatu, tetapi mereka dapat hilang. Misalnya, warna hitam dan putih tidak bisa bersatu, tetapi dapat hilang dengan hadirnya sesuatu yang ketiga. Misalnya, ketika mencampurkan warna hitam dan putih, akan muncul warna lain, seperti merah atau hijau. Begitu juga dengan posisi berdiri dan duduk; keduanya dapat hilang jika seseorang bertekuk atau berbaring. Intinya, jika dua hal dapat hilang, mereka adalah dua lawan. Jika tidak, mereka adalah nukleus. Sedangkan untuk pertemuan, baik nukleus maupun dua lawan tidak dapat bersatu.

Seringkali orang menganggap bahwa dua hal yang bertentangan dapat saling meniadakan satu sama lain, sehingga istilah "lawan" sering digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang bersifat bertentangan, termasuk nukleus.

Sebagai contoh, jika seorang pria berkata kepada istrinya yang sedang mengunyah sebutir delima: "Jika kamu menelannya, kamu akan diceraikan, dan jika kamu mengeluarkannya, kamu juga akan diceraikan," lalu bagaimana dia bisa terhindar dari situasi ini? Mereka berkata: "Dia bisa memakan setengah atau sebagian dari buah tersebut dan mengeluarkan sisanya, dan dengan demikian, dia tidak akan diceraikan."**

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

النَّظَرِيُّ: مَا احْتَاجَ إِلَى فِكْرٍ، وَنَظَرٍ، كَالْوَاحِدِ نِصْفِ سُدُسِ عُشْرِ الْمِئَةِ وَالْعِشْرِينَ. وَالضَّرُورِيُّ هُوَ عَكْسُهُ، وَهُوَ مَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى فِكْرٍ، وَنَظَرٍ، كَالْوَاحِدِ نِصْفِ الْإِثْنَيْنِ، وَيُسَمَّى الْبَدِيهِيَّ لِأَنَّهُ يُعْرَفُ بِدَاهَةٍ

قَوْلُهُ: (النَّظَرِيُّ: مَا احْتَاجَ إِلَى فِكْرٍ وَنَظَرٍ الخ)

هَذَا فِي عِلْمِ الْمَخْلُوقِ أَمَّا عِلْمُهُ تَعَالَى فَلَا يُوَصَفُ بِأَنَّهُ نَظَرِيٌّ أَوْ ضَرُورِيٌّ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْعِلْمِ النَّظَرِيِّ وَالْعِلْمِ الضَّرُورِيِّ كَمَا هُنَا؟

العِلْمُ النَّظَرِيُّ.. هُوَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى فِكْرٍ وَإِلَى تَأَمُّلٍ وَإِلَى نَظَرٍ وَإِلَى بَحْثٍ فَهَذَا يُسَمَّى نَظَرِيًّا، وَالنَّظَرُ: هُوَ إِعْمَالُ الْفِكْرِ فِي شَيْءٍ حَتَّى يَنتَهِيَ إِلَى نَتِيجَةٍ الْمَقْصُودِ فَلَا يَفْهَمُهُ الْإِنْسَانُ بِمَجَرَّدِ إِدْرَاكِهِ بِالْحَوَاسِّ أيْ بِالسَّمْعِ أَوِ الشَّمِّ أَوِ اللَّمْسِ، لَا بَلْ لَا بُدَّ مِنْ تَأَمُّلٍ فِيهِ وَبَحْثٍ وَنَظَرٍ كَمَا إِذَا سَأَلَكَ وَاحِدٌ كَمْ نِصْفُ سُدُسِ عُشْرِ الْمِئَةِ وَالْعِشْرِينَ؟ فَهَلْ سَتَفْهَمُ ذَلِكَ بِمَجَرَّدِ بَدِيهَةِ الْعَقْلِ؟ لَا، أَوْ إِذَا قَالَ: كَمْ نِصْفُ سُدُسِ الْإِثْنَيْ عَشَرَ؟ فَالْجَوَابُ بَعْدَ التَّأَمُّلِ فِي السُّؤَالَيْنِ هُوَ وَاحِدٌ، لَكِن إِذَا كَانَ وَاحِدٌ بَلِيدٌ سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَلَن يُفْهَمَ

وَكَمَا يُذْكَرُ.. إِذَا شَخْصٌ عِنْدَهُ كَبْشٌ وَبَرْسِيمٌ وَأَسَدٌ وَأَرَادَ أَنْ يُعَبِّرَ بِهِمَا نَهْرًا، وَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَحْمِلَ مَعَهُ إِلَّا شَيْئًا وَاحِدًا فِي قَارِبِهِ وَهُوَ لَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ الْأَسَدُ الْكَبْشَ وَلَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ الْكَبْشُ الْبَرْسِيمَ!! فَكَيْفَ يَصْنَعُ؟ لِأَنَّهُ إِذَا حَمَلَ الْأَسَدَ وَتَرَكَ الْكَبْشَ وَالْبَرْسِيمَ.. سَيَأْكُلُ الْكَبْشَ الْبَرْسِيمَ، وَإِذَا حَمَلَ الْبَرْسِيمَ سَيَأْكُلُ الْأَسَدُ الْكَبْشَ فَهَذَا يَحْتَاجُ إِلَى تَفْكِيرٍ وَنَظَرٍ، وَالْحَلُّ أَنْ يَحْمِلَ الْكَبْشَ أَوَّلًا وَيَتْرُكَهُ عَلَى جَانِبِ النَّهْرِ الْآخَرِ وَيَتْرُكَ الْأَسَدَ وَالْبَرْسِيمَ، لِأَنَّ الْأَسَدَ لَنْ يَأْكُلَ الْبَرْسِيمَ، ثُمَّ يَعُودُ وَيَحْمِلَ الْأَسَدَ وَيَتْرُكَهُ عَلَى الضِّفَّةِ وَيَأْخُذَ الْكَبْشَ وَيُعِيدَهُ إِلَى مَكَانِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ يَأْخُذَ الْبَرْسِيمَ وَيَذْه

 

Terjemahan:

Ilmu Teoritis: Apa yang membutuhkan pemikiran dan pengamatan, seperti satu setengah dari seperenam dari seratus dua puluh.

Ilmu yang Diperlukan (Dasar): Kebalikannya, yaitu apa yang tidak membutuhkan pemikiran dan pengamatan, seperti satu setengah dari dua, dan disebut badiha (yang langsung diketahui) karena dapat dikenali dengan segera.

Pernyataan: (Ilmu Teoritis: Apa yang membutuhkan pemikiran dan pengamatan, dll.) Ini dalam ilmu makhluk, sedangkan ilmu-Nya Ta'ala tidak digolongkan sebagai ilmu teoritis atau ilmu dasar. Apa perbedaan antara ilmu teoritis dan ilmu dasar di sini?

Ilmu Teoritis adalah apa yang membutuhkan pemikiran, perenungan, dan penelitian; ini disebut teoritis. Dan pengamatan adalah mengerjakan pikiran dalam sesuatu hingga sampai pada hasil yang dimaksud. Manusia tidak memahaminya hanya dengan merasakan dengan panca indera seperti mendengar, mencium, atau meraba, tetapi harus ada perenungan dan penelitian.

Seperti jika seseorang bertanya, "Berapa setengah dari seperenam dari seratus dua puluh?" Apakah Anda akan memahami itu hanya dengan intuisi akal? Tidak. Atau jika dia berkata, "Berapa setengah dari seperenam dari dua belas?" Jawabannya setelah merenungkan dua pertanyaan tersebut adalah satu, tetapi jika seseorang yang bodoh ditanya tentang itu, dia tidak akan memahaminya.

Dan seperti yang disebutkan.. jika seseorang memiliki seekor domba, seikat rumput, dan seekor singa, dan ingin menyeberangi sungai, tetapi hanya dapat membawa satu hal dalam perahunya dan tidak ingin singa memakan domba, dan tidak ingin domba memakan rumput! Maka bagaimana dia melakukannya? Karena jika dia membawa singa dan meninggalkan domba dan rumput, singa akan memakan domba. Jika dia membawa rumput, singa akan memakan domba, maka ini membutuhkan pemikiran dan pengamatan.

Solusinya adalah dia membawa domba terlebih dahulu dan meninggalkannya di sisi sungai yang lain, lalu meninggalkan singa dan rumput karena singa tidak akan memakan rumput. Kemudian dia kembali dan membawa singa, meninggalkannya di sisi lain, mengambil domba, mengembalikannya ke tempat semula, lalu mengambil rumput dan membawanya, meninggalkannya di dekat singa, dan kemudian kembali untuk mengambil domba. Ini semua membutuhkan pemikiran dan pengamatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

قَوْلُهُ: (وَالضَّرُورِيُّ: هُوَ عَكْسُهُ وَهُوَ مَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى فِكْرٍ وَنَظَرٍ الخ).

وَأَمَّا الضَّرُورِيُّ وَيُسَمَّى الْبَدِيهِيُّ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى بَحْثٍ كَالْوَاحِدِ نِصْفِ الْإِثْنَيْنِ وَالْجُزْءُ أَقَلُّ مِنَ الْكُلِّ، وَالْكُلُّ أَكْبَرُ مِنَ الْجُزْءِ، وَالسَّمَاءُ فَوْقَ، وَالْأَرْضُ تَحْتَ، فَهَذَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى نَظَرٍ، وَكَذَٰلِكَ مَا يُدْرَكُ بِالْحَوَاسِّ كَالنَّارِ حَارَةٌ، وَالْمَاءُ بَارِدٌ، فَهَذَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى فِكْرٍ وَنَظَرٍ بَلْ يَفْهَمُهُ الْإِنْسَانُ بِبَدِيهَةِ الْعَقْلِ، وَلِذَٰلِكَ سُمِّيَ ضَرُورِيًّا، كَمَا تَقُولُ عَنْ شَخْصٍ: ضَرُورِيٌّ أَنَّهُ يَفْهَمُ.

 

Terjemahan:

Pernyataan: (Dan yang diperlukan (darurat): adalah kebalikannya, yaitu apa yang tidak membutuhkan pemikiran dan pengamatan, dll.)

Adapun yang diperlukan (darurat) yang juga disebut badiha (yang langsung diketahui) tidak memerlukan penelitian, seperti satu setengah dari dua, dan bagian itu lebih kecil dari keseluruhan, serta keseluruhan itu lebih besar dari bagiannya. Langit berada di atas, dan bumi di bawah. Hal-hal ini tidak memerlukan pemikiran, begitu juga apa yang dapat dirasakan dengan panca indera, seperti api itu panas dan air itu dingin. Ini semua tidak memerlukan pemikiran dan pengamatan, tetapi manusia memahaminya dengan langsung melalui akal, oleh karena itu disebut ilmu yang diperlukan, seperti ketika Anda mengatakan bahwa seseorang itu "darurat" karena dia memahaminya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

الدرس الثالث

في تعريف الحكم المطلق وأقسامه

تنبني مسائل هذا الفن على ثلاثة أشياء وهي الواجب والجائز والمستحيل التي هي أقسامه الحكم العقلي، والحكم العقلي هذا هو أحد أقسام الحكم المطلق. الحكم المطلق: هو إثبات أمر لأمر أو نفيه عنه كإثبات القدم الله ونفي الحدوث عنه

قَوْلُهُ: (تَنْبَنِي مَسَائِلُ هَذَا الْفَنِّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ الخ)

الكلام على الحكم المطلق وسيأتي تقسيمه إلى ثلاثة أقسام: شرعي وعادي وعقلي والحكم العقلي هو الذي يدور كلام أهل التوحيد فيه وتنبني مسائله على ثلاثة أشياء كما هنا من حيث الواجب في حق الله وحق رسله والجائز في حق الله وحق رسله، والمستحيل في حق الله وحق رسله، وجملتها خمسون صفة لأنه في حق الله تعالى عشرون واجبة، وعشرون مستحيلة، وواحدة جائزة، وفي حق الرسل أربع صفات واجبة، وأربع مستحيلة، وواحدة جائزة، فالجملة خمسون ولهذا قال صاحب عقيدة العوام

فَاحْفَظْ لِخَمْسِينَ بِحُكْمٍ وَاجِبٍ

وَهَذِهِ الثَّلاثَةُ الْأَشْيَاءِ الْوَاجِبَةُ وَالْجَائِزَةُ وَالْمُسْتَحِيلَةُ هِيَ أَقْسَامُ الْحُكْمِ الْعَقْلِيِّ لِأَنَّهَا لَا تُعْرَفُ إِلَّا مِنْ طَرِيقِ الْعَقْلِ، بِخِلَافِ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ فَتُعْرَفُ أَحْكَامُهُ مِنْ طَرِيقِ الشَّرْعِ وَالْعَادِيِّ مِنْ خِلَالِ التَّكْرَارِ وَالْعَادَةِ.

قَوْلُهُ: (الْحُكْمُ الْمُطْلَقُ: هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ الخ).

أي: أن تعريف الحكم المطلق بقطع النظر عن كونه شرعياً أو عادياً أو عقلياً هو: إثبات أمر لأمر أو نفيه عنه، هذا هو معنى الحكم، فقوله: إثبات أمر لأمر.. كإثبات.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Pelajaran Ketiga

Dalam Definisi Hukum Mutlak dan Pembagiannya

Masalah-masalah dalam disiplin ini berlandaskan pada tiga hal yaitu wajib, diperbolehkan, dan mustahil yang merupakan bagian dari hukum akal. Hukum mutlak: adalah penegasan suatu hal untuk suatu hal atau penafian darinya, seperti penegasan kekekalan Allah dan penafian peristiwa darinya.

Kata-kata ini: (Masalah-masalah dalam disiplin ini berlandaskan pada tiga hal, dst).

Pembicaraan tentang hukum mutlak dan akan datang pembagiannya menjadi tiga kategori: syar’i, biasa, dan akal. Hukum akal adalah yang dibahas oleh para ahli tauhid dan masalahnya berlandaskan pada tiga hal seperti yang disebutkan di sini tentang apa yang wajib bagi Allah dan Rasul-Nya, apa yang diperbolehkan bagi Allah dan Rasul-Nya, dan apa yang mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya. Jumlahnya ada lima puluh sifat; karena dalam konteks Allah ada dua puluh sifat wajib, dua puluh sifat mustahil, dan satu sifat diperbolehkan. Sedangkan dalam konteks Rasul, ada empat sifat wajib, empat sifat mustahil, dan satu sifat diperbolehkan. Jadi totalnya ada lima puluh. Oleh karena itu, penulis Aqidah Awam berkata:

"Ingatlah lima puluh dengan hukum wajib."

Ketiga hal yang wajib, diperbolehkan, dan mustahil ini adalah bagian dari hukum akal karena tidak dapat dikenal kecuali melalui akal. Berbeda dengan hukum syar’i, yang dikenal melalui syara’, dan hukum biasa yang dikenal melalui pengulangan dan kebiasaan.

Kata-katanya: (Hukum mutlak: adalah penegasan suatu hal untuk suatu hal atau penafian darinya, dst).

Artinya, definisi hukum mutlak tanpa mempertimbangkan apakah itu syar’i, biasa, atau akal adalah: penegasan suatu hal untuk suatu hal atau penafian darinya, ini adalah arti dari hukum. Maka kata "penegasan suatu hal untuk suatu hal" seperti penegasan...

الْقِدَمُ اللَّهِ كَقَوْلِكَ: اللَّهُ قَدِيمٌ فَهُنَا أَثْبَتَ الْقِدَمَ لِلَّهِ تَعَالَى فَهَذَا يُسَمَّى حُكْمًا، وَكَقَوْلِكَ الْعَالَمُ حَادِثٌ فَهُنَا أَثْبَتَ الْحَدَاثَةَ لِلْعَالَمِ.

وَقَوْلُهُ: أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُ: كَنْفْيِ الْحَدَاثَةِ عَنْهُ تَعَالَى كَقَوْلِكَ: اللَّهُ لَيْسَ بِحَادِثٍ فَأَنْتَ نَفَيْتَ الْحَدَاثَةَ عَنْهُ تَعَالَى، وَكَقَوْلِكَ الْعَالَمُ لَيْسَ بِقَدِيمٍ فَهُنَا نَفَيْتَ الْقِدَمَ عَنْ الْعَالَمِ.

 

 

 

 

Terjemahan:

Kekekalan Allah seperti ungkapan: "Allah itu Kekal." Di sini, Anda menegaskan kekekalan bagi Allah, dan ini disebut sebagai hukum. Begitu juga dengan ungkapan: "Dunia ini adalah baru." Di sini, Anda menegaskan bahwa dunia ini mengalami peristiwa.

Dan kalimatnya: "Atau menafikannya darinya" berarti menafikan peristiwa darinya, seperti ungkapan: "Allah tidak bersifat baru." Dalam hal ini, Anda telah menafikan peristiwa dari-Nya. Dan seperti ungkapan: "Dunia ini tidak kekal." Di sini, Anda telah menafikan kekekalan dari dunia.

 

 

 

 

 

 

 

 

يَنقَسِمُ الحُكمُ المُطلَقُ إلى ثَلاثَةِ أَقسامٍ: حُكمٍ شَرعِيٍّ، وَحُكمٍ عَادِيٍّ، وَحُكمٍ عَقلِيٍّ. الحُكمُ الشَّرعِيُّ: هُوَ خِطَابُ اللهِ المُتعَلِّقُ بِفِعلِ العَبدِ سَوَاءٌ كَانَ مِن حَيثُ التَّكليفِ كَتَكليفِنَا بِوُجُوبِ الصَّلاةِ مَثَلاً، أَو مِن جِهَةِ الوَضعِ كَوَضعِ الوُضُوءِ شَرطاً لِلصَّلاةِ. قَولُه: (يَنقَسِمُ الحُكمُ المُطلَقُ إلى ثَلاثَةِ أَقسامٍ...)

كَمَا مَرَّ أَنَّ الحُكمَ المُطلَقَ لَهُ أَقسامٌ ثَلاثَةٌ: حُكمٍ شَرعِيٍّ، وَحُكمٍ عَادِيٍّ، وَحُكمٍ عَقلِيٍّ، وَهَذَا الأَخيرُ هُوَ المَرادُ هُنَا فِي عِلمِ التَّوحِيدِ وَسَيَأتِي تَفصِيلُ ذَلِكَ

قَولُه: (الحُكمُ الشَّرعِيُّ: هُوَ خِطَابُ اللهِ المُتعَلِّقُ بِفِعلِ العَبدِ...)

الحُكمُ الشَّرعِيُّ هُوَ: خِطَابُ اللهِ تَعَالَى المُتعَلِّقُ بِأَفعَالِ المُكَلَّفِينِ الَّذِي لا يُعرَفُ إِلَّا بِوَاسِطَةِ الشَّرعِ، وَالمُرادُ بِهِ الأَحكَامُ الشَّرعِيَّةُ الَّتِي يَذكُرُهَا الفُقَهَاءُ. وَهَذِهِ الأَحكَامُ الشَّرعِيَّةُ تَنقَسِمُ إِلَى قِسمَينِ

الأَوَّلُ: أَحكَامٌ شَرعِيَّةٌ تَكلِيفِيَّةٌ وَهِيَ الخَمسَةُ: الأَحكَامُ الوَاجِبَةُ وَالمَندُوبَةُ وَالمَكرُوهَةُ وَالمُبَاحَةُ وَالمُحَرَّمَةُ كَمَا ذَكَرَهَا صَاحِبُ الزُّبدِ

الثَّانِي: أَحكَامٌ شَرعِيَّةٌ وَضعِيَّةٌ وَذَكَرَ مِنها صَاحِبُ الزُّبدِ اثنَينِ هُمَا الصَّحِيحُ وَالبَاطِلُ، وَمِنهَا أَيضَاً السَّبَبُ وَالشَّرطُ وَالمَانِعُ، فَهَذِهِ مِنَ الأَحكَامِ الوَضعِيَّةِ، وَكَمَا يَذكُرُونَ فِي المَوَارِيثِ أَسبَابَ الإِرثِ وَشُرُوطَ الإِرثِ وَمَوَانِعَ الإِرثِ

وَقَولُنَا: خِطَابُ اللهِ تَعَالَى المُتعَلِّقُ بِأَفعَالِ المُكَلَّفِينِ... يُخرِجُ بِذَلِكَ أَربَعَةَ أَشيَاءَ

الأَوَّلُ: خِطَابُ اللهِ تَعَالَى المُتعَلِّقُ بِذَاتِهِ فَلا يُسمَّى حُكماً شَرعِيّاً، كَقَولِهِ تَعَالَى: فَاعلَم أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (مُحَمَّد: 19) وَقَولِهِ: وَإِلَهُكُم إِلَهٌ وَاحِدٌ (البَقَرَة: 163)

الثَّانِي: خِطَابُ اللهِ تَعَالَى المُتعَلِّقُ بِالجَمَادَاتِ وَغَيرِهَا مِنَ المَخلُوقَاتِ كَقَولِهِ تَعَالَى: وَأَوحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحلِ (النَّحل: 68) وَقَولِهِ تَعَالَى: فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرضِ ائتِيَا طَوعاً أَو كَرهاً (فُصِّلَت: 11)

الثَّالِثُ: حُكمُ اللهِ المُتعَلِّقُ بِذَوَاتِ المُكَلَّفِينِ كَمَا فِي قَولِهِ تَعَالَى: وَاللَّهُ خَلَقَكُم وَمَا تَعمَلُونَ (الصَّافَّات: 96).

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Hukum mutlak terbagi menjadi tiga bagian: hukum syar'i, hukum 'adi (kebiasaan), dan hukum 'aqli (akal). Hukum syar'i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan seorang hamba, baik dari segi taklif (pembebanan) seperti kewajiban kita untuk melaksanakan shalat, maupun dari segi wadl' (penetapan) seperti menjadikan wudhu sebagai syarat sah shalat.

Pernyataannya: (Hukum mutlak terbagi menjadi tiga bagian...)

Seperti yang telah dijelaskan, hukum mutlak terbagi menjadi tiga bagian: hukum syar'i, hukum 'adi, dan hukum 'aqli. Bagian terakhir ini yang dimaksud dalam ilmu tauhid, dan perinciannya akan dijelaskan kemudian.

Pernyataannya: (Hukum syar'i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba...)

Hukum syar'i adalah perintah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang yang mukallaf (dibebani hukum) yang tidak dapat diketahui kecuali melalui syariat. Yang dimaksud dengan hukum syar'i adalah hukum-hukum syariat yang dijelaskan oleh para fuqaha. Hukum-hukum syar'i ini terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Hukum syar'i taklifi, yaitu lima hukum yang mencakup wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab "az-Zubad."

Kedua: Hukum syar'i wadl'i, dan penulis "az-Zubad" menyebutkan dua di antaranya, yaitu sah dan batal. Termasuk juga sebab, syarat, dan penghalang (mani'), semuanya merupakan bagian dari hukum wadl'i. Misalnya, dalam ilmu warisan disebutkan sebab-sebab warisan, syarat-syarat warisan, dan penghalang-penghalang warisan.

Dan pernyataan kami: "Perintah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang yang mukallaf..." mengecualikan empat hal:

Pertama: Perintah Allah SWT yang berkaitan dengan Dzat-Nya, ini tidak disebut sebagai hukum syar'i, seperti dalam firman Allah SWT: "Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah" (Muhammad: 19) dan firman-N

 

وَمَا تَعمَلُونَ ﴾ [الصافات: 96] الرَّابِع: خِطَابُ غَيرِ اللهِ كَخِطَابِ السَّلَاطِينِ وَالمُلُوكِ وَالآبَاءِ وَغَيرِ ذَلِكَ، فَيَخرُجُ مِن خِطَابِ اللهِ المُتعلِّقِ بِأَفعَالِ المُكَلَّفِينِ هَذِهِ الأَربَعَةُ الأَشيَاءُ المُتَقدِّمَة.

 

Terjemahan:

Dan firman-Nya: "dan apa yang kamu kerjakan" (ash-Shaffat: 96). Keempat: Perkataan selain Allah, seperti perkataan para sultan, raja-raja, ayah-ayah, dan lainnya. Maka hal-hal tersebut tidak termasuk dalam perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Keempat hal yang disebutkan di atas keluar dari kategori perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

الحُكْمُ العَادِيُّ: هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التَّكْرَارِ وَالْعَادَةِ مَعَ إِمْكَانِ التَّخَلُّفِ فِي بَعْضِ الأَوقَاتِ لِعَارِضٍ مِنْ مَعْجِزَةٍ أَوْ كَرَامَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَٰلِكَ، كَالنَّارِ مُحْرِقَةٌ وَالسَّكِّينِ قَاطِعٌ

قَوْلُهُ: (الحُكْمُ العَادِيُّ هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التَّكْرَارِ الخ). أَيْ: أَمَّا الحُكْمُ العَادِيُّ فَهُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التَّكْرَارِ وَالْعَادَةِ مَعَ عَدَمِ تَأْثِيرِ أَحَدِهِمَا الْبَتَّةَ، وَمَعَ جَوَازِ التَّخَلُّفِ لِعَارِضٍ مِثْلَ أَنَّ النَّارَ مُحَرِّقَةٌ، وَالسَّكِّينُ قَاطِعٌ، وَالطَّعَامُ مُشْبِعٌ، وَالْمَاءُ بَارِدٌ، وَخَرَجَ بِذَٰلِكَ الحُكْمُ العَقْلِيُّ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ التَّخَلُّفُ وَالتَّأْثِيرُ فِي هَذِهِ الأَشْيَاءِ إِنَّمَا هُوَ مِنَ اللّهِ تَعَالَى، وَإِنَّمَا ذَٰلِكَ مِنْ بَابِ رَبْطِ الأَسْبَابِ بِمُسَبَّبَاتِهَا فَالنَّارُ الْمُحَرِّقَةُ لَا تُحْرِقُ بِذَاتِهَا وَلَكِن يُخْلِقُ اللّهُ تَعَالَى الإِحْرَاقَ فِيهَا عِندَ مُبَاشَرَتِهَا لِلْمَحْرُوقِ، وَلِهَذَا لَمَّا أَنَّ اللّهَ تَعَالَى سَلَبَ مِنْهَا الإِحْرَاقَ لَمْ تُؤَثِّرْ فِي سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَالسَّكِّينُ قَاطِعٌ عَرَفْنَا ذَٰلِكَ بِوَاسِطَةِ التَّكْرَارِ وَالْعَادَةِ، لَكِن مَعَ عَدَمِ التَّأْثِيرِ لِأَحَدِهِمَا، فَالسَّكِّينُ لَا يَقْطَعُ بِذَاتِهِ وَلَكِن يُخْلِقُ اللّهُ الْقَطْعَ عِندَ مُبَاشَرَتِهِ لِلْمَقْطُوعِ، وَلِهَذَا لَمْ يُؤَثِّرِ السَّكِّينُ عِندَمَا أَجْرَاهُ سَيِّدُنَا إِبْرَاهِيمُ عَلَى حَلْقِ وَلَدِهِ إِسْمَاعِيلَ، لأَنَّ اللّهَ تَعَالَى سَلَبَ مِنْهُ خَاصِّيَةَ الْقَطْعِ، وَالدَّوَاءُ كَذَٰلِكَ كَالإِسْبِرِينِ وَنَحْوَهُ عِنْدَمَا يَحْصُلُ الشِّفَاءُ بِتَنَاوُلِهِ لَا يُشْفِي بِذَاتِهِ وَلَكِنَّ اللّهَ تَعَالَى يُخْلِقُ الشِّفَاءَ فِيهِ، فَمَنْ اعْتَقَدَ التَّأْثِيرَ لِغَيْرِ اللّهِ كَفَرَ

قَالَ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا: مَنْ قَالَ لَوْلَا الْكَلْبُ لَدَخَلَ اللِّصُّ ... فَقَدْ أَشْرَكَ بِاللّهِ، فَمَاذَا يَقُولُ؟ يَقُولُ لَوْلَا أَنَّ اللّهَ تَعَالَى سَخَّرَ الْكَلْبَ لَدَخَلَ اللِّصُّ، فَيَنْسِبُ الأَمْرَ لِصَاحِبِ الأَمْرِ الأوَّلِ

وَالحُكْمُ العَادِيُّ قَدْ يَتَخَلَّفُ لِعَارِضٍ: إِمَّا مَعْجِزَةً لِنَبِيٍّ أَوْ كَرَامَةً لِوَلِيٍّ أَوْ مُعَاوَنَةً لِمُؤْمِنٍ أَوْ اسْتِدْرَاجًا لِفَاسِقٍ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Hukum biasa: adalah menetapkan suatu hal untuk hal lain atau menafikannya dengan cara pengulangan dan kebiasaan, dengan kemungkinan terjadinya kekurangan di beberapa waktu karena ada penghalang seperti mukjizat atau karamah atau hal lainnya, seperti api yang membakar dan pisau yang memotong.

Kata-kata tersebut: (hukum biasa adalah menetapkan suatu hal untuk hal lain atau menafikannya dengan cara pengulangan). Maksudnya: Adapun hukum biasa, maka ia adalah menetapkan suatu hal untuk hal lain atau menafikannya dengan cara pengulangan dan kebiasaan, dengan tidak adanya pengaruh salah satu dari keduanya, serta kemungkinan terjadinya kekurangan karena suatu hal, seperti api yang membakar, pisau yang memotong, makanan yang mengenyangkan, dan air yang dingin. Dengan demikian, hukum akal tidak mungkin mengalami kekurangan dan pengaruh dalam hal-hal ini, karena itu hanya dari Allah, dan ini adalah tentang menghubungkan sebab dengan akibatnya. Api yang membakar tidak membakar dengan sendirinya, tetapi Allah menciptakan pembakaran di dalamnya ketika ia berinteraksi dengan benda yang dibakar. Oleh karena itu, ketika Allah mencabut kemampuan pembakaran dari api, ia tidak berpengaruh pada Nabi Ibrahim. Pisau memotong kita ketahui dengan cara pengulangan dan kebiasaan, tetapi tanpa adanya pengaruh dari salah satunya. Pisau tidak memotong dengan sendirinya, tetapi Allah menciptakan pemotongan ketika ia berinteraksi dengan benda yang dipotong. Oleh karena itu, pisau tidak berpengaruh ketika Nabi Ibrahim menggerakkannya di leher putranya Ismail, karena Allah mencabut sifat pemotongan darinya. Begitu juga obat seperti aspirin dan sejenisnya, ketika seseorang sembuh setelah mengonsumsinya, itu tidak menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi Allah menciptakan kesembuhan di dalamnya. Siapa yang meyakini adanya pengaruh selain Allah, maka ia telah kafir.

Nabi Abdullah bin Abbas berkata: Siapa yang berkata, "Seandainya bukan karena anjing, pencuri akan masuk…" maka ia telah menyekutukan Allah. Apa yang dikatakannya? Ia berkata, "Seandainya bukan karena Allah yang menguasakan anjing, pencuri akan masuk," sehingga ia mengaitkan perkara tersebut kepada pemilik perkara pertama.

 

Dan hukum biasa dapat mengalami kekurangan karena suatu hal: baik itu mukjizat untuk Nabi, atau karamah untuk wali, atau bantuan untuk orang beriman, atau penipuan untuk orang fasik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

وَمِثالُ تَخَلُّفِ الحُكمِ العادِيِّ مُعجِزَةً لِنَبِيٍّ ما حَصَلَ لِسَيِّدِنا إِبراهِيمَ عَلَيهِ السَّلامُ، فَإِنَّ النَّارَ لم تَحرِقْهُ مَعَ أَنَّ النَّارَ مُحرِقَةٌ، وَما حَصَلَ مَعَ وَلَدِهِ إِسماعيلَ، قالَ تَعالى: (وَفَدَيناهُ بِذِبحٍ عَظيمٍ) [الصَّافَّات: 107] مَعَ أَنَّ السِّكِّينَ قاطِعٌ

وَمِثالُ تَخَلُّفِهِ كَرامَةً لِوَلِيٍّ... ما حَصَلَ مَعَ سَيِّدِنا مُحْيي الدِّينِ ابنِ عَرَبِيٍّ لَمّا كانَ يَناظِرُ حَولَ أَنَّ النّارَ لا تُحرِقُ بِطَبعِها، وَالتَّأثيرُ إِنَّما هُوَ مِنَ اللهِ تَعالى، فاعْتَرَضَ عَلَيهِ أَحَدُ الحاضِرينَ وَكانَ بَينَ يَدَيهِ مَوقِدٌ فيهِ نارٌ، فَقالَ: هَلْ هَذِهِ نارٌ حَقيقِيَّةٌ؟ قالَ: نَعَم، فَأَخَذَ الجَمْرَ بِيَدَيهِ يَلعَبُ بِهِ وَيُقَلِّبُهُ وَلَمْ يُؤَثِّرْ فيهِ... فَسَلَّمَ لَهُ ذَلِكَ الرَّجُلُ (١)

وَكَذَلِكَ ما حَصَلَ مَعَ أَبِي مُسلِمٍ الخَولانِيِّ رضيَ اللهُ عَنهُ مِنْ خَولانَ مِن أَهلِ اليَمَنِ لَمَّا أَرادَ الأَسْوَدُ العَنسِيُّ إِحراقَهُ في نارٍ عَظيمَةٍ بَعدَ أَن أَلقاهُ فيها لأَنَّهُ لَم يُؤمِنْ بِهِ فَلَمْ تُؤَثِّرْ فيهِ شَيئاً، فَلَمّا جاءَ إِلى المَدِينَةِ بَعدَ أَن قُبِضَ عَلَيهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ وَرَآهُ سَيِّدُنا أَبُو بَكرٍ الصِّدِّيقُ قالَ: الحَمدُ للهِ الَّذِي لَم يُمتنِي حَتّى أَراني في أُمَّةِ مُحمَّدٍ مَنْ حالُهُ كَحالِ خَليلِ اللهِ إِبراهيمَ، وَقيلَ إِنَّ القائِلَ هُوَ سَيِّدُنا عُمرُ رضيَ اللهُ عَنهُما

وَمِثالُ تَخَلُّفِ الحُكمِ العادِيِّ مَعُونَةً لِمُؤمِنٍ إِذا ظَهَرَ شَيءٌ مِن خَوارِقِ العادَاتِ عَلَى يَدِ رَجُلٍ عادِيٍّ لَكِنَّهُ مُؤمِنٌ لَيسَ بِوَلِيٍّ

وَمِثالُ تَخَلُّفِ الحُكمِ العادِيِّ إِهانَةً لِفاسِقٍ ما حَصَلَ مَعَ مُسَيلِمَةَ الكَذّابِ لَمّا بَصَقَ في بِئرٍ ماءُها عَذبٌ فَصارَ مالحاً، وَلَمّا مَسَحَ عَلَى رَأسِ صَبِيٍّ فَتَساقَطَ شَعرُهُ وَصارَ أَصلَعَ، فَهَذِهِ إِهانَةٌ لَهُ، لأَنَّ تَخَلُّفَ الحُكمِ العادِيِّ، إِذا جاءَ عَلَى حَسَبِ ما يُريدُ الفاسِقُ...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Contoh dari takhalluf (gagal terjadinya) hukum kebiasaan sebagai mukjizat bagi seorang nabi adalah apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim `alaihis salam, di mana api tidak membakarnya meskipun api biasanya membakar. Juga yang terjadi pada anaknya, Ismail. Allah Ta'ala berfirman: “Dan Kami tebus dia dengan sembelihan yang besar” [Ash-Shaffat: 107], meskipun pisau biasanya memotong.

Contoh lain takhalluf sebagai karamah bagi seorang wali adalah apa yang terjadi pada Syaikh Muhyiddin Ibn Arabi ketika sedang berdebat tentang keyakinan bahwa api tidak membakar secara alami, tetapi hanya membakar dengan izin Allah Ta'ala. Salah seorang hadirin menentangnya, dan di depannya ada tungku api. Orang tersebut berkata, "Apakah ini api sungguhan?" Ibn Arabi menjawab, "Ya." Kemudian, Ibn Arabi mengambil bara api dengan tangannya, bermain dan membolak-balikkan bara tersebut tanpa terkena luka. Maka orang itu pun menerima kebenarannya (1).

Demikian pula yang terjadi pada Abu Muslim Al-Khaulani dari Yaman. Ketika Al-Aswad Al-Ansi ingin membakarnya di dalam api besar karena Abu Muslim tidak mau beriman kepadanya, api tersebut tidak membakarnya. Ketika Abu Muslim datang ke Madinah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan dilihat oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak mematikanku sampai aku melihat dari umat Muhammad orang yang keadaannya seperti keadaan Khalilullah Ibrahim." Ada pula yang mengatakan bahwa ucapan ini berasal dari Sayyidina Umar radhiyallahu anhuma.

Contoh takhalluf hukum kebiasaan sebagai bantuan untuk seorang mukmin adalah ketika sesuatu yang luar biasa terjadi di tangan seseorang yang bukan wali, tetapi seorang mukmin biasa.

Contoh takhalluf hukum kebiasaan sebagai penghinaan terhadap seorang fasik adalah apa yang terjadi pada Musailamah Al-Kazzab ketika dia meludahi sumur yang airnya manis, kemudian airnya menjadi asin. Juga ketika dia mengusap kepala seorang anak kecil, rambutnya rontok dan dia menjadi botak. Ini adalah penghinaan baginya, karena gagal berlakunya hukum kebiasaan sesuai dengan keinginan seorang fasik...

 

اسْتِدْرَاجًا كَمَا قَالَ تَعَالَى: (سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ) [القلم: 44]، وَإِنْ جَاءَ عَلَى خِلَافِ مَا يُرِيدُ فَهُوَ إِهَانَةٌ لَهُ

فَالتَّأْثِيرُ مِنَ اللهِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ نَعْتَقِدَ أَنَّهُ فِي هَذِهِ الأَشْيَاءِ، وَمَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ التَّأْثِيرَ لِغَيْرِ اللهِ .. فَقَدْ كَفَرَ، وَهَذَا مَذْهَبُ الطَّبِيعِيِّينَ الَّذِينَ يَنْسِبُونَ التَّأْثِيرَ فِي الأَشْيَاءِ لِلطَّبِيعَةِ

وَهَذَا كُفْرٌ

وَأَمَّا مَذْهَبُ العَقْلِيِّينَ.. فَيُخْشَى عَلَيْهِمِ الكُفْرُ لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ بَيْنَ السَّبَبِ وَالمُسَبَّبِ مُلَازَمَةٌ لَازِمَةٌ لَا يُمْكِنُ التَّخَلُّفُ مَعَهَا، وَهَذَا قَدْ يُؤَدِّي إِلَى إِنْكَارِ مُعْجِزَاتِ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَامَاتِ الأَوْلِيَاءِ، أَمَّا عِنْدَنَا .. نَعَمْ بَيْنَهُمَا مُلَازَمَةٌ، وَلَكِنَّهَا عَادِيَّةٌ، فَيَجُوزُ أَنْ تَتَخَلَّفَ

وَمَذْهَبُ المُعْتَزِلَةِ لَا يُكَفِّرُونَ بِهِ إِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ.. لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ الأَسْبَابَ هِيَ الَّتِي تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا وَلَكِنْ بِقُدْرَةٍ أَوْدَعَهَا اللهُ فِيهَا عِنْدَمَا خَلَقَهَا، فَالنَّارُ عِنْدَهُمْ تُحْرِقُ بِذَاتِهَا وَالسِّكِّينُ يَقْطَعُ بِذَاتِهِ، وَلَكِنْ بِقُدْرَةٍ أَوْدَعَهَا اللهُ فِيهِمَا عِنْدَ خَلْقِهِمَا، فَالإِحْرَاقُ وَالقَطْعُ يُؤَثِّرَانِ بِتِلْكَ القُدْرَةِ الَّتِي أَوْدَعَهَا اللهُ عِنْدَ خَلْقِهِمَا، وَلِهَذَا لَمْ يُكَفِّرُوا لَمَّا قَالُوا ذَلِكَ، أَمَّا عِنْدَنَا فَلَا، وَإِنَّمَا التَّأْثِيرُ هَذَا مِنْ إِحْرَاقٍ وَقَطْعٍ .. يَخْلُقُهُ اللهُ عِنْدَ مُبَاشَرَةِ الأَشْيَاءِ، فَهَذَا هُوَ الفَرْقُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فِي هَذِهِ المَسْأَلَةِ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Istidraj seperti yang difirmankan Allah Ta'ala: "Kami akan menarik mereka secara berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui" [Al-Qalam: 44], dan jika hasilnya berlawanan dengan apa yang diinginkan oleh seorang fasik, maka itu adalah penghinaan baginya.

Pengaruh sesungguhnya datang dari Allah, dan kita tidak boleh meyakini bahwa pengaruh itu ada pada benda-benda tersebut. Barang siapa yang meyakini bahwa pengaruh itu berasal dari selain Allah, maka dia telah kafir. Inilah pandangan kaum naturalis yang menyandarkan pengaruh dalam benda-benda kepada alam, dan ini adalah kekufuran.

Sedangkan pandangan kaum rasionalis, mereka dikhawatirkan terjerumus dalam kekufuran karena mereka meyakini bahwa ada keterkaitan yang mutlak antara sebab dan akibat yang tidak dapat ditinggalkan, dan keyakinan ini bisa mengarah pada penolakan mukjizat para nabi dan karamah para wali. Sedangkan menurut pandangan kami, ya, memang ada keterkaitan antara sebab dan akibat, tetapi itu bersifat kebiasaan (adat), sehingga bisa saja terjadi pengecualian (takhalluf).

Pandangan kaum Mu'tazilah tidak sampai membuat mereka kafir, tetapi itu adalah sebuah bid'ah. Mereka meyakini bahwa sebab-sebab itulah yang memiliki pengaruh secara mandiri, tetapi dengan kekuatan yang Allah tanamkan ketika menciptakannya. Menurut mereka, api membakar dengan sendirinya dan pisau memotong dengan sendirinya, namun dengan kekuatan yang Allah tanamkan ketika menciptakan keduanya. Pembakaran dan pemotongan terjadi karena kekuatan yang Allah berikan ketika menciptakan benda-benda tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak dianggap kafir ketika mengatakan hal tersebut. Sedangkan menurut pandangan kami, pengaruh seperti pembakaran dan pemotongan diciptakan oleh Allah ketika benda-benda tersebut bersentuhan dengan objeknya. Itulah perbedaan antara pandangan kami dengan mereka dalam masalah ini.

 

 

 

يَنْقَسِمُ الحُكْمُ العَادِيُّ إِلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ بَسِيطَةٍ:

١ - رَبْطُ وُجُودٍ بِوُجُودٍ كَرَبْطِ وُجُودِ الشَّبَعِ بِوُجُودِ الأَكْلِ.

٢ - رَبْطُ وُجُودٍ بِعَدَمٍ كَرَبْطِ وُجُودِ اللَّيْلِ بِعَدَمِ النَّهَارِ.

٣ - رَبْطُ عَدَمٍ بِوُجُودٍ كَرَبْطِ عَدَمِ اللَّيْلِ بِوُجُودِ النَّهَارِ.

٤ - رَبْطُ عَدَمٍ بِعَدَمٍ، كَرَبْطِ عَدَمِ الشَّبَعِ بِعَدَمِ الأَكْلِ.

قَوْلُهُ: (يَنْقَسِمُ الحُكْمُ العَادِيُّ إِلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ الخ)

هَذِهِ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ بَسِيطَةٍ لِلْحُكْمِ العَادِيِّ وَهِيَ: رَبْطُ وُجُودٍ بِوُجُودٍ، وَرَبْطُ وُجُودٍ بِعَدَمٍ، وَرَبْطُ عَدَمٍ بِوُجُودٍ، وَرَبْطُ عَدَمٍ بِعَدَمٍ

فَالأَوَّلُ كَرَبْطِ وُجُودِ الشَّبَعِ بِوُجُودِ الأَكْلِ فَهَذَا حُكْمٌ عَادِيٌّ لَا عَقْلِيٌّ، فَإِذَا وُجِدَ الأَكْلُ وُجِدَ الشَّبَعُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَخَلَّفَ هَذَا الحُكْمُ، وَإِنَّمَا وُجُودُ الشَّبَعِ بَعْدَ الأَكْلِ عَلَى سَبِيلِ العَادَةِ، فَقَدْ يَأْكُلُ الإِنْسَانُ وَلَا يَشْبَعُ

وَالثَّانِي: كَرَبْطِ وُجُودِ اللَّيْلِ بِعَدَمِ النَّهَارِ، وَمَثَلُهُ وُجُودُ الجُوعِ بَعْدَمِ الأَكْلِ

وَالثَّالِثُ كَرَبْطِ عَدَمِ اللَّيْلِ بِوُجُودِ النَّهَارِ، وَكَعَدَمِ الجُوعِ بِوُجُودِ الأَكْلِ

وَالرَّابِعُ: كَرَبْطِ عَدَمِ الشَّبَعِ بِعَدَمِ الأَكْلِ، فَإِذَا لَمْ يَأْكُلِ الإِنْسَانُ مِنْ أَيْنَ سَيَأْتِيهِ الشَّبَعُ؟ أَيْ: فَهُوَ جَائِعٌ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Hukum biasa dibagi menjadi empat bagian sederhana:

1. Menghubungkan eksistensi dengan eksistensi seperti menghubungkan eksistensi kenyang dengan eksistensi makan.

2. Menghubungkan eksistensi dengan ketidakadaan seperti menghubungkan eksistensi malam dengan ketidakadaan siang.

3. Menghubungkan ketidakadaan dengan eksistensi seperti menghubungkan ketidakadaan malam dengan eksistensi siang.

4. Menghubungkan ketidakadaan dengan ketidakadaan, seperti menghubungkan ketidakadaan kenyang dengan ketidakadaan makan.

Kata-katanya: (Hukum biasa dibagi menjadi empat bagian). Ini adalah empat bagian sederhana dari hukum biasa, yaitu: menghubungkan eksistensi dengan eksistensi, menghubungkan eksistensi dengan ketidakadaan, menghubungkan ketidakadaan dengan eksistensi, dan menghubungkan ketidakadaan dengan ketidakadaan.

Bagian pertama adalah menghubungkan eksistensi kenyang dengan eksistensi makan; ini adalah hukum biasa, bukan akal. Jika ada makan, maka ada kenyang, dan mungkin hukum ini mengalami kekurangan. Eksistensi kenyang setelah makan adalah berdasarkan kebiasaan, karena seseorang mungkin makan tetapi tidak kenyang.

Bagian kedua adalah menghubungkan eksistensi malam dengan ketidakadaan siang, dan contohnya adalah adanya rasa lapar setelah tidak makan.

Bagian ketiga adalah menghubungkan ketidakadaan malam dengan eksistensi siang, dan seperti menghubungkan ketidakadaan lapar dengan adanya makan.

Bagian keempat adalah menghubungkan ketidakadaan kenyang dengan ketidakadaan makan. Jika seseorang tidak makan, dari mana ia akan mendapatkan kenyang? Artinya, ia pasti lapar.

 

 

الحُكْمُ العَقْلِيُّ: هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ العَقْلِ لَا بِوَاسِطَةِ التِّكْرَارِ، وَلَا وَضْعِ وَاضِعٍ كَإِثْبَاتِ وُجُودِ اللهِ، وَنَفْيِ العَدَمِ عَنْهُ، وَيَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: سَتَأْتِي فِي الدَّرْسِ الآتِي

قَوْلُهُ: (الحُكْمُ العَقْلِيُّ: هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ الخ)

هَذَا هُوَ القِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِ الحُكْمِ المُطْلَقِ وَهُوَ: الحُكْمُ العَقْلِيُّ وَهَذَا الَّذِي يَتَكَلَّمُ فِيهِ عُلَمَاءُ التَّوْحِيدِ، أَمَّا الحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فَيَتَكَلَّمُ عَنْهُ الفُقَهَاءُ مِنْ نَاحِيَةِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ

وَتَعْرِيفُ الحُكْمِ العَقْلِيِّ: أَنَّهُ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ العَقْلِ، أَيْ العَقْلُ الَّذِي كَرَّمَ اللهُ بَنِي آدَمَ بِهِ لَا بِوَاسِطَةِ التِّكْرَارِ لِأَنَّ مَا كَانَ بِوَاسِطَةِ التِّكْرَارِ.. هُوَ الحُكْمُ العَادِيُّ، وَلَا بِوَضْعِ وَاضِعٍ لِأَنَّهُ الحُكْمُ الشَّرْعِيُّ

فَإِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ.. كَإِثْبَاتِ وُجُودِ اللهِ كَقَوْلِكَ: اللهُ مَوْجُودٌ، أَوْ إِثْبَاتِ القِدَمِ لِلَّهِ كَقَوْلِكَ: اللهُ قَدِيمٌ أَوْ إِثْبَاتِ الحُدُوثِ لِلْعَالَمِ كَقَوْلِكَ: العَالَمُ حَادِثٌ

وَنَفْيُهُ عَنْهُ.. كَقَوْلِكَ: اللهُ لَيْسَ بِمَعْدُومٍ، أَوْ لَيْسَ بِحَادِثٍ فَأَنْتَ نَفَيْتَ العَدَمَ وَالحُدُوثَ عَنْهُ تَعَالَى، وَكَقَوْلِكَ: العَالَمُ لَيْسَ بِقَدِيمٍ وَقِسْ عَلَى ذَلِكَ

وَأَقْسَامُهُ ثَلَاثَةٌ: وَهِيَ الوَاجِبُ وَالجَائِزُ وَالمُسْتَحِيلُ كَمَا سَيَأْتِي.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjemahan:

Hukum Akal: adalah menetapkan suatu perkara kepada sesuatu atau menafikannya dari sesuatu dengan perantaraan akal, bukan melalui pengulangan atau ketetapan pihak yang menetapkan, seperti menetapkan keberadaan Allah dan menafikan ketiadaan-Nya. Hukum akal terbagi menjadi tiga bagian yang akan dijelaskan dalam pelajaran berikutnya.

Penjelasan tentang hukum akal: “Hukum akal adalah menetapkan suatu perkara kepada sesuatu atau menafikannya dari sesuatu dengan perantaraan akal.” Ini adalah bagian ketiga dari jenis-jenis hukum secara umum, yaitu hukum akal, yang dibahas oleh para ulama tauhid. Sedangkan hukum syar'i dibahas oleh para fuqaha (ahli fikih) dari segi hukum-hukum syariah.

Definisi hukum akal: menetapkan suatu perkara kepada sesuatu atau menafikannya dari sesuatu dengan perantaraan akal, yaitu akal yang dimuliakan oleh Allah pada anak cucu Adam, bukan melalui pengulangan karena yang dihasilkan dari pengulangan adalah hukum adat, dan bukan pula dari ketetapan pihak yang menetapkan karena itu adalah hukum syar'i.

Contoh menetapkan suatu perkara kepada sesuatu, seperti menetapkan keberadaan Allah, misalnya dengan mengatakan: "Allah ada." Atau menetapkan keabadian Allah dengan mengatakan: "Allah Maha Dahulu." Atau menetapkan bahwa alam adalah baru (hadits), misalnya dengan mengatakan: "Alam ini baru."

Dan contoh menafikan suatu perkara dari sesuatu, seperti mengatakan: "Allah tidak tiada," atau "Allah tidak baru." Dalam hal ini, kamu menafikan ketiadaan dan kebaruan dari Allah Ta'ala. Atau mengatakan: "Alam tidak qadim (tidak sejak dulu)," dan semacamnya.

Pembagian hukum akal ada tiga: yaitu wajib, jaiz (boleh), dan mustahil, yang akan dijelaskan lebih lanjut nanti.

 

 

 

Berikut adalah penjelasan singkat dengan pemahaman yang jelas tentang Bab 1, 2, dan 3 dari kitab Attafrid:

Bab 1: Pendahuluan dan Tujuan

Pentingnya Tauhid: Menyatakan bahwa tauhid (keesaan Allah) adalah pokok utama dalam Islam, dan setiap Muslim harus menjauhi syirik (mempersekutukan Allah).

Bab 2: Konsep Tauhid

Tiga Jenis Tauhid:

1. Tawhid Rububiyah: Keesaan Allah dalam penciptaan dan penguasaan alam semesta.

2. Tawhid Uluhiyah: Keesaan Allah dalam penyembahan, yang berarti hanya Allah yang berhak disembah.

3. Tawhid Asma wa Sifat: Keesaan Allah dalam nama dan sifat-Nya, yang harus diyakini dan dipahami oleh setiap Muslim.

Sifat-Sifat Allah: Penjelasan tentang sifat-sifat wajib, mustahil, dan jais (yang diperbolehkan) terkait Allah dan Rasul-Nya.

Bab 3: Hukum Mutlak dan Pembagiannya

Definisi Hukum Mutlak: Hukum mutlak adalah penegasan atau penafian suatu hal terkait dengan Allah dan Rasul-Nya.

Tiga Kategori Hukum:

1. Wajib: Sifat-sifat yang harus ada pada Allah dan Rasul-Nya.

2. Diperbolehkan (Jais): Sifat-sifat yang bisa ada tetapi tidak harus ada.

3. Mustahil: Sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Allah dan Rasul-Nya.

 

 

 

Jumlah Sifat: Menyebutkan total lima puluh sifat yang perlu diingat, di mana masing-masing kategori memiliki jumlah sifat yang berbeda.

 

Kesimpulan:

Kitab Attafrid memberikan dasar yang kuat tentang akidah Islam dengan menekankan pada pentingnya tauhid dan pemahaman tentang sifat-sifat Allah serta hukum-hukum yang berkaitan. Setiap bab diuraikan untuk membantu pembaca memahami inti ajaran Islam dengan lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU KALAM