ILMU KALAM

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

       Dalam perkembangan Agama Islam, banyak dipelajari berbagai ilmu-ilmu keagamaan, misalnya ilmu fiqih, ilmu aqidah, dan ilmu tauhid. Ilmu-ilmu tersebut mempunyai peranan tersendiri. Ilmu fiqih mempelajari tentang hukum-hukum dalam agama islam. Ilmu aqidah mempelajari tentang tingkah laku baik buruk manusia menurut agama islam. Dan ilmu tauhid mempelajari tentang keesaan Tuhan.

       Ilmu tauhid juga disebut ilmu kalam, ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya. Dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada dirinya. Dalam sejarah perkembangannya, dalam mempelajari ilmu tauhid, muncul banyak model-model penelitian ilmu kalam, oleh sebab itu dalam makalah ini penulis membahas tentang “Ilmu Kalam (Teologi Islam)”.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah yaitu:

1.      Bagaimana pengertian dan tujuan ilmu kalam ?

2.      Bagaimana latar belakang lahirnya ilmu kalam ?

3.      Apa saja aliran-aliran dan paham dalam ilmu kalam ?

 

C.    Tujuan

Berdasarkan Rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1.      Mengetahui pengertian dan tujuan ilmu kalam

2.      Mengetahui latar belakang lahirnya ilmu kalam

3.      Mengetahui aliran-aliran dan paham dalam ilmu kalam

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian dan Tujuan Ilmu Kalam

       Secara bahasa, kalam berarti perkataan, firman, ucapan, atau pembicaraan. Dalam Ilmu Nahwu, kalam adalah suatu susunan kalimat yang mengandung makna.

       Sedangkan ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padaNya,  dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya. Serta membicarakan tentang Rasul-rasul Allah, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya.

       Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alas an-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah.

       Selain ilmu kalam mengandung arti ilmu yang berisi hal-hal yang diperdebatkan dalam hubungannya dengan Tuhan, juga terdapat sejumlah masalah lain yang diperdebatkan. Disini, abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah mengatakan bahwa adanya permasalahan yang diperdebatkan dalam ilmu kalam ini tidak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat inti dari ajaran agama. Perdebatan dalam ilmu kalam itu tidak menyentuh tentang keesaan Allah, tidak pula membicarakan pengakuan terhadap kerasulan Muhammad SAW, tidak pula mempersoalkan tentang diturunkannya Al-Qur’an dari Allah SWT yang merupakan mukjizat Nabi terbesar, dan tidak pula membicarakan tentang kekhawatiran al-Qur’an yang disampaikan setahap demi setahap dengan jelas, dan tidak pula membicarakan hal-hal yang pokok dalam agama seperti shalat lima waktu, zakat, haji, puasa, dan tidak pula mempersoalkan tentang cara-cara mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, dan tidak pula mempersoalkan hal-hal agama yang di dalamnya tidak ada perbedaan, dan tidak pula mempersoalkan hal-hal yang sudah sangat maklum dalam agama, seperti haramnya khamr, daging babi, memakan bangkai, dan ketentuan-ketentuan umum dalam hal warisan. Hal-hal yang diperdebatkan dalam ilmu kalam adalah masalah-masalah yang tidak termasuk dalam masalah yang bersifat utama dan hal-hal yang bersifat pokok pada umumnya.

       Hal-hal yang menjadi beban perdebatan dalam ilmu kalam ini termasuk pula tentang hakikat seorang muslim, tentang barunya alam, sifat-sifat yang baik bagi Allah, berbagai argumen yang berkaitan dengan sifat-sifat ma’nawiyah, makna asma’ Allah ta’ala, kebolehan melihat Allah di akhirat, penciptaan amal, kesanggupan manusia, keadilan Tuhan, al-shalah wa al-ashlah, kenabian, masalah-masalah yang bersifat al-samiyat, al-ajal, al-razak, amr ma’ruf nahi munkar, al-‘iadah, pahala dan siksa serta dihapuskannya amal, bertambah dan berkurangnya iman, serta hal-hal yang berkaitan dengan tobat.

       Dengan demikian, hal-hal yang menjadi wilayah perdebatan atau pertentangan di kalangan para ulama kalam bukanlah masalah-masalah yang berisi fat rukun atau pilar utama, melainkan hal-hal yang sifatnya cabang atau furu’, yang sama sekali tidak akan mengganggu keimanan dan keislaman seseorang.

       Dilihat dari segi kandungan, peran, dan fungsinya, ilmu kalam ini juga dinamakan ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, tidak menyekutukanNya, dengan tujuan menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatanNya dalam menjadikan alam semesta dan hanya ialah yang menjadi tempat tujuan terakhir di alam ini.

       Ilmu kalam juga dinamai Ilmu al-‘Aqaid atau Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya dibahas hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama.

B.     Latar Belakang Ilmu Kalam

       Terdapat sejumlah teori yang digunakan para ahli untuk menjelaskan latar belakang lahirnya ilmu kalam.

1.      Teori Politik

       Teori ini dikemukakan oleh Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa, persoalan politik yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan dengan jalan arbitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Menurutnya, bahwa penyelesaian sengketa dengan arbitrase bukanlah penyelesaian dengan apa yang diperintahkan Tuhan, oleh karena itu pihak-pihak yang menyetujui arbitrase ini telah menjadi kafir dalam pendapat kaum Khawarij. Dengan demikian menurut mereka, Ali, Muawiyah, Abu Musa al-Asy’ari, dan ‘Amr Ibn al-‘Ash telah menjadi kafir. Kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad), dan orang yang murtad wajib dibunuh. Merekapun memutuskan untuk membunuh keempat pemuka ini. Penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal politik, namun soal teologi.

2.      Teori Internal

       Faktor internal adalah faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum muslimin itu sendiri. Dalam Al-Qur’an menyinggung golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan tidak benar. Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara lain:

a.       Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja.

b.      Golongan musyrik yang menyembah bintang, bulan, matahari, yang mempertuhankan Nabi Isa as. dan ibunya, dan menyembah berhala

c.       Golongan yang tidak percaya terhadap keutusan nabi-nabi dan tidak percaya kehidupan kembali di akhirat nanti

d.      Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan sepenuhnya, tanpa ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafik)

      Menghadapi berbagai pandangan dan pemikiran tersebut, Tuhan memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai argumen dengan cara yang bijak dan santun. Berbagai bantahan dengan alasan tersebut merupakan kandungan kajian ilmu kalam.

3.      Teori Eksternal

       Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang dating dari luar Islam dan kaum muslimin karena adanya kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam. Adapun faktor eksternal yang menyebabkan lahirnya ilmu kalam ini adalah karena adanya golongan Islam terdahulu, terutama golongan Mu’tazilah yang memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan mereka yang memusuhi Islam. Mereka tidak akan dapat menghadapi lawan-lawannya jika mereka sendiri tidak mengetahui pendapat lawan-lawannya tersebut beserta dalilnya. Dengan demikian, mereka harus menyelami pendapat tersebut, dan akhirnya negeri Islam menjadi karena perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama, hal mana dapat mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan. Inilah salah satu faktor diperlukannya ilmu kalam.

 

C.    Aliran-Aliran dan Paham dalam Ilmu Kalam

       Dalam ilmu kalam, terdapat beberapa aliran yang tiap alirannya memiliki paham teologi yang berbeda. Aliran-aliran tersebut antara lain:

1.      Aliran Khawarij

       Khawarij berasal dari kata kharaja yang artinya keluar. Khawarij adalah para pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan kelompoknya karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

       Mereka menyebut dirinya sebagai syurah (menjual) sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah al-Baqarah ayat 207 yang isinya mengemukakan tentang adanya manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh “Ridha Allah”.

       Mereka juga disebut sebagai kaum Harurat yang diambil dari nama sebuah desa yang terletak di dekat Kota Haruriah di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah 12.000 orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib.

       Pemimpin aliran Khawarij ini yang pertama adalah Abdulla Ibn Wahib al-Rasidi yang dianggap sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Aliran ini kemudian terbagi menjadi beberapa sekte, yaitu:

a.       Al-Muhakkimah

Berasal dari pengikut Ali yang keluar barisan Ali (khawarij yang pertama). Mereka menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase dan setiap orang yang beruat dosa besar adalah bersalah dan menjadi kafir. Demikian juga orang yang berbuat zina dan membunuh manusia tanpa sebab dianggap keluar agama Islam dan menjadi kafir.

b.     Al-Azariqa

Pemberian nama sekte ini dinisbahkan pada pendirinya Abi Rasyid Nai bin al Azraq. Menurut para ahli sejarah sekte ini dikenal paling ekstrim dan radikal dari pada sekte lainnya dikalangan khawarij. Hal ini ditandai dengan dipergunakannya term musyrik bagi orang yang melakukan dosa besar sedangkan sekte lain hanya menggunakan term kafir. Term musyrik dalam Islam merupakan dosa yang paling besar melebihi dosa kafir.

c.      Al-Najdah

Nama sekte ini berasal dari nama pemimpinnya Najdah bin Amir Al Hanafi. Sekte ini merupakan sepaham dengan Al Azariqah karena mereka tidak setuju dengan term musyrik yang diberikan kepada orang yang tidak mengikuti paham Al Azariqah dan halal dibunuhnya perempuan dan anak-anak orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan musyrik.

d.      Al-Ajaridah

Adalah aliran Khawarij pengikut Abd. Al Karim Ibn Ajrad. Kelompok ini memiliki paham yang agak lunak. Mereka berpedapat bahwa berhijrah bagi penganut Khawarij merupakan kebijakan bukan kewajiban seperti yang diajarkan Al-Azraq dan Al-Najdah. Begitupun harta rampasan perang menurut mereka bagi musuh yang terbunuh, tidak seperti Al-Azariqa yang menganggap bahwa seluruh harta musuh boleh menjadi harta rampasan perang.

e.       Al-Suftriah

Golongan khawarij yang dipimpin oleh Ziad Ibn Al-Asfar. Menurut kelompok ini orang yang melakukan dosa besar dikenakan had sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Seperti pencuri, pezina dan sebagainya. Sedangkan peaku dosa besar yang tidak ada hadnya maka disebut kafir namun demikian ada yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar yang tidak ada hadnya tidak boleh dikafirkan kecuali atas keputusan hakim.

f.        Al-Ibadiah

Aliran ini dipimpin oleh Abdullah Ibn Ibadh, yang pada tahun 686M memisahkan diri dari golongan al-Azariqa. Mereka merupakan penganut paham Khawarij yang paling moderat dan luwes serta paling dekat dengan paham Sunni. Sehingga aliran ini masih bertahan sampai sekarang.

       Kaum Khawarij mengartikan Al-Qur’an dan Hadits menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dalam paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fatanik. Iman yang tebal tapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik membuat mereka tidak dapat mentoleransi penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan kecil. Dari sini dapat dimengerti jika kaum khawarij mudah terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil dan selalu mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau bersikap keras terhadap orang yang tidak sepaham.

2.      Aliran Murji’ah

       Murji’ah berasal dari kata rajaa yang berarti mengembalikan kepada Tuhan dan arja’ yang berarti menunda. Secara politik, kaum Murji’ah pada awalnya merupakan golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertentangan yang terjadi ketika itu. Mereka mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang bertentangan kepada Tuhan.

       Jika perbuatan dosa besar dalam Khawarij dianggap kafir, maka kaum Murji’ah masih menganggap mukmin. Bagi golongan ini yang terpenting pada seorang mukmin adalah imannya, bukan perbuatannya. Seseorang yang berzina, durhaka, membunuh masih dianggap mukmin bukan kafir. Adapun soal dosanya terserah pada Tuhan nanti di akhirat. Jika Tuhan mengampuninya maka akan masuk surga, jika tidak mengampuninya maka akan masuk neraka. Sikap yang menunda keputusan inilah menjadi pangkal kelompok ini dinamakan Murji’ah, yaitu kaum yang menunda keputusan. Selain menunda, kaum Murji’ah mengandung arti kaum yang memberi harapan bagi orang yang berdosa besar, bahwa mereka masih ada harapan untuk diampuni dosanya sehingga bisa masuk surga. Kaum Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni:

a.       Moderat

Berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya. Oleh karena itu, mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.

b.      Ekstrem

Tokoh nya adalah al-Jahmiah serta para pengikut Jahm Ibn Safwan berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir. Karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Orang tersebut masih dianggap mukmin walaupun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran agama Yahudi atau Kristen, kemudian ia mati.

3.      Aliran Mu’tazilah

       Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya menjauhkan atau memisahkan diri. Pengertian tentang Mu’tazilah ini ada hubungannya dengan peristiwa Washil bin Atha serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Bashrah. Washil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Bashrah. Pada suatu hari, ada seseorang yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar yang meninggal sebelum bertaubat. Washil mengeluarkan pendapat bahwa orang berdosa besar itu bukanlah mukmin bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya. Kemudian, Washil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan bahwa Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘annaI). Dengan demikian, Washil dan teman-temannya disebut kaum Mu’tazilah.

       Kaum Mu’tazilah merumuskan ajaran pokoknya yang dikenal dengan al-ushul al-khomsah, yaitu:

a.       Al-Tauhid

Tauhid artinya mengesakan Tuhan. Tuhan dalam paham mereka benar-benar Maha Esa. Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah.

b.      Al-‘Adl

Al-‘Adl artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Paham Al-‘Adl ini memiliki hubungan dengan paham Al-Tauhid. Jika al-Tauhid ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan makhluk, maka Al-‘Adl ingin menyucikan perbuatan tuhan dari persamaan perbuatan makhluk. Jika Al-Tauhid membahas keunikan diri Tuhan, maka Al-‘Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.

c.       Al-Wa’d wa Al-Wa’id

Al-Wa’d dan Al-Wa’id adalah janji kebaikan (surga) bagi yang berbuat baik, dan janji keburukan (neraka) bagi yang berbuat buruk. Paham ini adalah lanjutan dari paham Al-‘Adl bahwa Tuhan tidak dapat disebut adil bila tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk.

d.      Al-Manzilah bain Al-Manzilatain

Al-Manzilah bain Al-Manzilatain adalah posisi menengah bagi yang berbuat dosa besar. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir bukan pula mukmin. Karena bukan mukmin, maka ia tidak mesti masuk surga. Karena bukan kafir, maka ia tidak mesti masuk neraka. Ia harusnya diletakkan di luar surga dan neraka. Tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat lain selain surga dan neraka, maka ia harus dimasukkan ke salah satu tempat tersebut.

e.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah perintah mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Paham ini bukan hanya dianut oleh kaum Mu’tazilah, tetapi golongan umat Islam yang lainnya. Perbedaannya ada pada pelaksanaannya. Kaum Khawarij memandang bahwa perintah dan larangan tersebut perlu dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah memandang bahwa hal tersebut cukup dengan seruan,  tetapi kalua perlu dengan kekerasan.

4.      Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

       Menurut Harun Nasution, term ahli sunnah dan jama’ah timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah dan terhadap reaksi mereka dalam menyiarkan ajarannya itu. Beberapa tokoh yang memiliki paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiah. Pemikiran dari kedua tokoh tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah suatu paham teologi yang dinisbahkan kepada Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari.ada mulanya, ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga Al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Namun, karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah walaupun ia sudah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah. Sumber yang berasal dari Al-Subki dan Ibn Asakir menjelaskan bahwa suatu malam Al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahl Al-Hadits lah yang benar, sedangkan mazhab Mu’tazilah salah. Dalam sumber lain mengatakan bahwa Al-Asy’ari berdebat dengan Al-Jubba’i. dalam perdebatan ini, Al-Jntubba’i tidak dapat menjawab tantangan murid. Adapun baham teologi yang dikemukakan Al-Asy’ari adalah:

1)      Paham tentang sifat, Tuhan bukanlah pengetahuan (‘ilm) melainkan yang mengetahui (‘aliim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuanNya bukanlah zatNya.

2)      Paham tentang Al-Qur’an, menurut Al-Asy’ari, Al-Qur’an bukanlah diciptakan, sebab jika diciptakan maka ia akan berantai tanpa kesudahan.

3)      Paham tentang Tuhan yang dapat dilihat di akhirat, hal ini didasarkan pada alasan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan pada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa pada arti diciptakannya Tuhan. Dengan demikian, kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, maka tidak berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.

4)      Paham tentang perbuatan manusia, menurut Al-Asy’ari, perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, seperti pendapat Mu’tazilah, melainkan diciptakan Tuhan. Seperti perbuatan kufur dan keimanan seseorang. Bukan orang tersebut yang menghendaki, tetapi Tuhan.

5)      Paham tentang anthromorphism, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya dengan ditentukan bagaimana, yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan.

6)      Paham tentang keadilah Tuhan, menurut pendapat Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada suatu apapun yang wajib bagiNya. Tuhan berbuat sekehendakNya, sehingga jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukan berarti Ia tidak adil. Begitupun jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka bukan berarti Ia zolim.

7)      Paham tentang posisi menengah, bagi Al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada. Tetapi karena dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik.

b.      Maturidiyah

Maturidiyah adalah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaan dengan paham-paham teologi Abu Hanifah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam system teologinya. Dengan dasar ini, maka antara paham teologi Maturidiyah dengan Al-Asy’ari terdapat perbedaan meski keduanya timbul sebagai reaksi terhadap golongan Mu’tazilah.

1)      Paham tentang sifat Tuhan, terdapat persamaan pendapat dengan Al-Asy’ari bahwa Tuhan mengetahui bukan dengan zatNya melainkan dengan pengetahuanNya.

2)      Paham tentang perbuatan manusia, dalam hal ini sependapat dengan Mu’tazilah, yakni bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.

3)      Paham tentang al-shalah wal ashlah, dalam hal ini, Al-Maturidi menolak paham ajaran Mu’tazilah, namun sependapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban tertentu.

4)      Paham tentang Al-Qur’an, Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa kalam atau sabda Tuhan bukan diciptakan, tetapi bersifat qadim.

5)      Paham tentang orang mukmin yang berdosa besar, Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat.

6)      Paham tentang al-manzila bain al-manzilatain, dalam hal ini, Maturidi menolak paham posisi menengah kaum Mu’tazilah

7)      Paham tentang al-wa’d wal wa’id, Maturidi sependapat dengan kaum Mu’tazilah bahwa janji-janji dan ancaman Tuhan tidak mesti terjadi kelak.

8)      Paham tentang anthropomorphism, Maturidi sependapat dengan kaum Mu’tazilah dan tidak sependapat dengan Al-Asy’ari yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmaniah yang tidak dapat diberi interpretasi. Menurutnya, tangan, wajah, dan sebagainya perlu diberi kiasan.

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

       Ilmu Kalam yang membicarakan tentang wujudnya tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padaNya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya. Serta membicarakan tentang Rasul-rasul Allah, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya.

       Ilmu kalam ini juga dinamakan Ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, tidak menyekutukanNya, dengan tujuan menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatanNya dalam menjadikan alam semesta dan hanya ialah yang menjadi tempat tujuan terakhir di alam ini. Juga dinamakan Ilmu al-‘Aqaid atau Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya dibahas hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama.

       Aliran-aliran dan paham Ilmu Kalam adalah Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tiap-tiap aliran tersebut memiliki paham dan teologi yang berbeda-beda.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hanafi, A. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta : Bulan Bintang. 1986

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah al-Juz al-Awwal fi al-siyasah wal  ‘aqaid, Beirut : Dar al-Fikr al-‘Arabiy. t.th

Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press. 1979

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. 1972

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB 1 - 3